Kamis, 04 Maret 2010

MERENUNGKAN SEJENAK Hadits Hudzaifah Rodhiallohu Ta’ala ‘Anhu


[Tulisan ini disadur dan diringkas dari kutaib yang berjudul “Qaulul Mubin fi Jama’atil Muslimin” karangan Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh tanpa tahun.

NASH HADITS
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)

MAKNA HADITS
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).

Alloh berfirman,

“Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”. (QS Al-An’am: 55)

Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula Sabilul Mu’minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) Sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan Sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan Sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan. Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan.

“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri”

“Barang siapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya”

Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu. Maka ia berkata, “Manusia bertanya kepada Rosululloh tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”.

Kedua, Kekokohan Kita Dihancurkan dari Dalam
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa. Pertama, Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya. Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya. Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikit pun. Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Alloh dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Alloh menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya,

“Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Alloh, di mana Alloh belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS Ali Imran: 151)

Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda artinya, “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; …. dan seterusnya”. (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu)

Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan, “Alloh akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian …”.

Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab, “Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”. Kemudian apa yang menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit” itu seperti buih yang mengambang di atas air?

Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barokahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun”. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (pengkhianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu ‘Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain, “Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya”. (Riwayat Abu Dawud no. 4247)

Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda beliau: “Dan di dalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”. Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam ‘Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al Qari yang berkata: “Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan (fasad)”.

Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Berkata Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”. Sedangkan Al Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim yang artinya “Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia” (Riwayat Muslim)

Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai dai atau du’at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jamak dari da’a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317).

Ketiga, Jamaah minal Muslimin dan bukan Jamaah Muslimin/’Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.

Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jamaatul Muslimin. Kalaulah Jamaatul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini di mana Alloh tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.

Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jamaah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jamaatul Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Alloh. Adapun jamaah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rohimahullo h yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jamaah adalah Sawadul A’dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Alloh tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.

Keempat, menjauhi semua firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!

Kelima, jalan penyelesaiannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat ‘Irbadh Ibnu Sariyah yang artinya “Barang siapa yang masih hidup di antara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barang siapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)

Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits ‘Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridhwanullah ta’ala ‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jamaah Muslimin serta Imamnya.

Kedua, di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara zhahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.

Ketiga, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh Dajjal.

Maraji’:

Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni

Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir

Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari

Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani

Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani

As-Sunnan, oleh Ibnu Majah

As-Sunnan, oleh Abu Dawud

As-Sunnan, oleh Tirmidzi

Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi

Syarhu Sunnah, oleh Baghawi

As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj

‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi

Al-Kaasyif, oleh Dzahabi

Al-Mustadrak, oleh Hakim

Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal

Tandzim Al Qaeda Aceh, Benarkah Mereka ?


Perkembangan peristiwa penggrebekan dan penangkapan empat tersangka teroris di kawasan pegunungan Jalin, kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Senin (22/2) malam semakin menegangkan. Setelah sebelumnya diberitakan seorang warga sipil tewas di tangan petugas, kini beredar kabar kemunculan dan kemungkinan Tandzim Al Qaeda Aceh di balik peristiwa ini. Densus 88 AT dari Mabes Polri pun dilaporkan mulai bergerak ke wilayah pengunungan Jalin. Bagaimana dugaan Tandzim Al Qaeda Aceh bisa muncul? Berikut laporannya.



Desas-desus adanya gerakan jaringan teroris di Aceh yang diduga kelompok Jemaah Islamiyah (JI) semakin santer menjadi pembicaraan pascapenggerebekan dan penangkapan empat tersangka teroris di kawasan pegunungan Jalin, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Senin (22/2) malam.

Laporan yang menyebutkan adanya aktivitas kelompok bersenjata api yang melakukan latihan militer di kawasan pegunungan Jalin, hingga kini masih terjadi polemik. Banyak pihak yang meragukan adanya kelompok terkoordinir itu namun tak sedikit pula yang tidak mengenyampingkan. Ada pula yang mempertanyakan, jika benar kelompok bersenjata itu ada, lalu siapa mereka?

Sebuah sumber Serambi menyebutkan, kelompok bersenjata tersebut diduga kuat merupakan anggota dari organisasi Tandhim Al Qaeda Aceh yang sejak 2008 lalu sudah eksis masuk ke wilayah Aceh dengan karakter anggotanya yang militan. "Kelompok ini memiliki jaringan dengan JI, tapi namanya saja yang berbeda. Bila melihat dari tujuannya jelas mereka ingin mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah-red)," kata sumber tersebut di sebuah lokasi, Rabu (24/2).

Menurut sumber yang minta namanya tidak dipublikasikan itu, Tandhim Al Qaeda Aceh diduga mulai masuk ke Aceh sejak tiga tahun lalu. Dalam pergerakannya, organisasi yang berafiliasi dengan jaringan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden tersebut tidak menamakan dirinya Jemaah Islamiyah. Tapi kelompok ini lebih tertarik memakai nama Tandhim Al Qaeda Aceh (Organisasi Al Qaeda Aceh).

Dikatakanya, diduga kuat pemakaian Tandhim Al Qaeda Aceh sebagai nama organisasi lebih dikarenakan nama Aceh telah menjadi sorotan masyarakat internasional, di samping wilayahnya juga relatif aman dari perburuan Densus 88 sejak mencuatnya isu jaringan teroris di tanah air yang diduga melibatkan Jemaah Islamiyah.

Soal adanya kamp pelatihan militer, kata sumber Serambi, diakui telah lama berlangsung di kawasan hutan Aceh. Kelompok ini diakui juga memiliki belasan pucuk sejata api standar. Ada pula yang menyebut beberapa anggotanya berasal dari Thailand dan Filipina yang ikut terlibat dalam aktivitas pelatihan. "Mereka merekrut kader secara terbuka, tidak mengenal suku. Siapa saja boleh bergabung," kata sumber itu.

Diperkirakan anggota Tandhim Al Qaeda Aceh saat ini berjumlah lebih 50 orang. Anggota kelompok ini terdiri dari beragam suku, termasuk dari Jawa dan Aceh. Salah satu target dari kelompok ini juga ingin memperluas jaringan perekrutan kader militan, terutama mereka yang berasal dari mantan kombatan GAM yang dinilai memiliki jaringan untuk memasok senjata.

Pelatihan (Tandhim Al Qaeda) di kawasan hutan Aceh sudah berlangsung lebih satu bulan sebelum akhirnya tercium polisi. Dalam pergerakannya, kelompok ini juga kerap mencari dukungan dari tokoh-tokoh organisasi Islam yang radikal untuk penguatan basis perjuangannya. Tidak hanya tokoh organisasi, namun perekrutan kader juga dilakukan terhadap siapa saja yang bersimpati dengan perjuangan mereka. "Jadi sangat terbuka, terutama bagi mereka yang sudah berpengalaman di medan tempur," demikian sumber Serambi.(sar)

(M Fachry/Serambi/arrahmah.com)