Jumat, 27 Agustus 2010

Usamah Bin Zaid bin Haritsah – Panglima Perang Termuda Kesayangan Rasulullah SAW


Kita sekarang kembali ke Mekah, tahun ketujuh sebelum hijrah. Ketika itu Rasulullah saw. sedang susah karena tindakan kaum Qurasy yang menyakiti beliau dan para sahabat. Kesulitan dan kesusahan berdakwah menyebabkan beliau senantiasa harus bersabar. Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba seberkas cahaya memancar memberikan hiburan yang menggembirakan. Seorang pembawa berita mengabarkan kepada beliau, “Ummu Aiman melahirkan seorang bayi laki-laki.” Wajah Rasulullah berseri-seri karena gembira menyambut berita tersebut.

Siapakah bayi itu? Sehingga, kelahirannya dapat mengobati hati Rasulullah yang sedang duka, berubah menjadi gembira ? Itulah dia, Usamah bin Zaid.

Orangtua Usamah

Para sahabat tidak merasa aneh bila Rasulullah bersuka-cita dengan kelahiran bayi yang baru itu. Karena, mereka mengetahui kedudukan kedua orang tuanya di sisi Rasulullah. Ibu bayi tersebut seorang wanita Habsyi yang diberkati, terkenal dengan panggilan “Ummu Aiman”. Sesungguhnya Ummu Aiman adalah bekas sahaya ibunda Rasulullah Aminah binti Wahab. Dialah yang mengasuh Rasulullah waktu kecil, selagi ibundanya masih hidup. Dia pulalah yang merawat sesudah ibunda wafat. Karena itu, dalam kehidupan Rasulullah, beliau hampir tidak mengenal ibunda yang mulia, selain Ummu Aiman

Rasulullah menyayangi Ummu Aiman, sebagaimana layaknya sayangnya seroang anak kepada ibunya. Beliau sering berucap, “Ummu Aiman adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda yang mulia wafat, dan satu-satunya keluargaku yang masih ada.” Itulah ibu bayi yang beruntung ini.

Adapun bapaknya adalah kesayangan ) Rasulullah, Zaid bin Haritsah. Rasulullah pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya sebelum ia memeluk Islam. Dia menjadi sahabat beliau dan tempat mempercayakan segala rahasia. Dia menjadi salah seorang anggota keluarga dalam rumah tangga beliau dan orang yang sangat dikasihi dalam Islam.

Kegembiraan Kaum Muslimin dan Sayangnya Rasulullah SAW kepada Usamah

Kaum muslimin turut bergembira dengan kelahiran Usamah bin Zaid, melebihi kegembiraan meraka atas kelahiran bayi-bayi lainnya. Hal itu bisa terjadi karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah juga mereka sukai. Bila beliau bergembira mereka pun turut bergembira. Bayi yang sangat beruntung itu mereka panggil “Al-Hibb wa Ibnil Hibb” (kesayangan anak kesayangan).

Kaum muslimin tidak berlebih-lebihan memanggil Usamah yang masih bayi itu dengap panggilan tersebut. Karena, Rasulullah memang sangat menyayangi Usamah sehingga dunia seluruhnya agaknya iri hati. Usamah sebaya dengan cucu Rasulullah, Hasan bin Fatimah az-Zahra. Hasan berkulit putih tampan bagaikan bunga yang mengagumkan. Dia sangat mirip dengan kakeknya, Rasulullah saw. Usamah kulitnya hitam, hidungnya pesek, sangat mirip dengan ibunya wanita Habsyi. Namun, kasih sayang Rasulullah kepada keduanya tiada berbeda. Beliau sering mengambil Usamah, lalu meletakkan di salah satu pahanya. Kemudian, diambilnya pula Hasan, dan diletakkannya di paha yang satunya lagi. Kemudian, kedua anak itu dirangkul bersama-sama ke dadanya, seraya berkata, “Wahai Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka!”

Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah, pada suatu kali Usamah tersandung pintu sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah menyuruh Aisyah membersihkan darah dari luka Usamah, tetapi tidak mampu melakukannya. Karena itu, beliau berdiri mendapatkan Usamah, lalu beliau isap darah yang keluar dari lukanya dan ludahkan. Sesudah itu, beliau bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyenangkan hingga hatinya merasa tenteram kembali.

Sebagaimana Rasulullah menyayangi Usamah waktu kecil, tatkala sudah besar beliau juga tetap menyayanginya. Hakim bin Hazam, seorang pemimpin Qurasy, pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah. Hakam membeli pakaian itu di Yaman dengan harga lima puluh dinar emas dari Yazan, seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah dari Hakam, sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu, pakaian itu dibeli oleh beliau dan hanya dipakainya sekali ketika hari Jumat. Pakaian itu kemudian diberikan kepada Usamah. Usamah senantiasa memakainya pagi dan petang di tengah-tengah para pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.

Sejak Usamah meningkat remaja, sifat-sifat dan pekerti yang mulia sudah kelihatan pada dirinya, yang memang pantas menjadikannya sebagai kesayangan Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, bijaksana dan pandai, takwa dan wara. Ia senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela.

Dikisahkan bahwasanya pada suatu hari, terjadilah pencurian dimana pelakunya adalah seorang wanita ternama dari bangsa Quraisy, maka kaum Quraisy pun terlena, apa yang semestinya diputuskan terhadap wanita tersebut sedangkan hukuman untuk pencuri adalah potong tangan, kemudian mereka ingin menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW namun ketidak beranian yang mereka miliki membuat mereka mundur langkah dan maju langkah. hingga terbesitlah dihati salah satu diantara mereka bahwasanya orang yang paling berani untuk menanyakan hal ini adalah Usama, karena dia adalah orang yang paling dekat dan paling dikasihi oleh rasulullah saw.

dengan segera mereka menemuinya dan memintanya agar meminta keringanan kepada rasulullah saw terhadap wanita terseut. ketika Usama menceritakan hal ini kepada rasulullah saw, maka rasulullah bersabda:

Janganlah engkau meminta keringanan dalam masalah hukum agama, sesungguhnya bangsa-bangsa terdahulu binasa karena hal itu, bila diantara mereka orang bangsawan mencuri maka mereka mengampuninya dan bila orang miskin yang mencuri maka ditegakkan hukum sebaik-baiknya dan sesungguhnya bila Fatimah Binti Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong tangannya.

Usamah Dalam Perang Uhud

Waktu terjadi Perang Uhud, Usamah bin Zaid datang ke hadapan Rasulullah saw. beserta serombongan anak-anak sebayanya, putra-putra para sahabat. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian mereka diterima Rasulullah dan sebagian lagi ditolak karena usianya masih sangat muda. Usamah bin Zaid teramasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima. Karena itu, Usama pulang sambil menangis. Dia sangat sedih karena tidak diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.

Usamah Dalam Perang Khandaq

Dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang pula bersama kawan-kawan remaja, putra para sahabat. Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah supaya kelihatan lebih tinggi, agar beliau memperkenankannya turut berperang. Rasulullah kasihan melihat Usamah yang keras hati ingin turut berperang. Karena itu, beliau mengizinkannya, Usamah pergi berperang menyandang pedang, jihad fi sabilillah. Ketika itu dia baru berusia lima belas tahun.

Usamah Dalam Perang Hunain

Ketika terjadi Perang Hunain, tentara muslimin terdesak sehingga barisannya menjadi kacau balau. Tetapi, Usamah bin Zaid tetap bertahan bersama-sama denga ‘Abbas (paman Rasulullah), Sufyan bin Harits (anak paman Usamah), dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia. Dengah kelompok kecil ini, Rasulullah berhasil mengembalikan kekalahan para sahabatnya menjadi kemenangan. Beliau berhasil menyelematkan kaum muslimin yang lari dari kejaran kaum musyrikin.

Usamah Dalam Perang Mu’tah

Dalam Perang Mu’tah, Usamah turut berperang di bawah komando ayahnya, Zaid bin Haritsah. Ketika itu umurnya kira-kira delapan belas tahun. Usamah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tatkala ayahnya tewas di medan tempur sebagai syuhada. Tetapi, Usamah tidak takut dan tidak pula mundur. Bahkan, dia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja’far bin Abi Thalib hingga Ja’far syahid di hadapan matanya pula. Usamah menyerbu di bawah komando Abdullah bin Rawahah hingga pahlawan ini gugur pula menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid. Kemudian, komando dipegang oleh Khalid bin Walid. Usamah bertempur di bawah komando Khalid. Dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit, kaum muslimin akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum.

Seusai peperangan, Usamah kembali ke Madinah dengan menyerahkan kematian ayahnya kepada Allah SWT. Jasad ayahnya ditinggalkan di bumi Syam (SYiria) dengan mengenang segala kebaikan almarhum.

Pengangkatan Usamah dalam Perang Melawan Romawi

Ketika Islam berjaya pada masa Rasulullah di Arab. Dengan suka rela, setiap insan yang mendengar seruan kalimat laa ilaha illallalah Muhammadur Rasulullah berbondong-bondong menyambutnya. Wajah-wajah kusut yang semula diselimuti kabut kemusyrikan menjadi cerah disinari pancaran cahaya Ilahi. Tidak ketinggalan juga Farwah bin Umar Al-Judzami, kepala daerah Ma’an dan sekitarnya yang diangkat Kaisar Romawi. Mengetahui hal itu, para penguasa Romawi marah dan mereka segera menangkap Farwah dan menjebloskannya ke penjara. Selanjutnya, ia dibunuh dan kepalanya dipancung, lalu diletakkan di sebuah mata air bernama Arfa’ di Palestina. Mayatnya disalib untuk menakut-nakuti para penduduk agar tidak mengikuti jejaknya.

Mendengar desas-desus yang seolah menyepelekan kemampuan Usamah itu, Umar bin Khatthab segera menemui Rasulullah. Beliau sangat marah, lalu bergegas mengambil sorbannya dan keluar menemui para sahabat yang tengah berkumpul di Masjid Nabawi. Setelah memuji Allah dan mengucapkan syukur, beliau bersabda,

“Wahai sekalian manusia, saya mendengar pembicaraan mengenai pengangkatan Usamah, demi Allah, seandainya kalian menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid bin Haritsah. Demi Allah, Zaid sangat pantas memegang kepemimpinan, begitu juga dengan putranya, Usamah. Kalau ayahnya sangat saya kasihi, maka putranya pun demikian. Mereka adalah orang yang baik. Hendaklah kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga adalah sebaik-baik manusia di antara kalian.”

Pada tahun kesebelas hijriah Rasulullah menurunkan perintah agar menyiapkan bala tentara untuk memerangi pasukan Rum. Dalam pasukan itu terdapat antara lain Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Sa’ad bin ABi Waqqas, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lain-lain sahabat yang tua-tua.

Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid yang muda remaja menjadi panglima seluruh pasukan yang akan diberangkatkan. Ketika itu usia Usamah belum melebihi dua puluh tahun. Beliau memerintahkan Usamah supaya berhenti di Balqa’ dan Qal’atut Daarum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan Rum.

Setelah itu, beliau turun dari mimbar dan masuk ke rumahnya. Kaum muslimin pun beradatangan hendak berangkat bersama pasukan Usamah. Mereka menemui Rasulullah yang saat itu dalam keadaan sakit. Diantara mereka terdapat Ummu Aiman, ibu Usamah. “Wahai Rasulullah bukankah lebih baik, jika engkau biarkan Usamah menunggu sebentar di perkemahannya sampai engkau merasa sehat. Jika dipaksa berangkat sekarang, tentu dia tidak akan merasa tenang dalam perjalanannya,” ujarnya. Namun Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Biarkan Usamah berangkat sekarang juga.”

Kata Usamah, “Tatkala sakit Rasulullah bertambah berat, saya datang menghadap beliau diikuti orang banyak, setelah saya masuk, saya dapati beliau sedang diam tidak berkata-kata karena kerasnya sakit beliau. Tiba-tiba beliau mengangkat tangan dan meletakkannya ke tubuh saya. Saya tahu beliau memanggilku.”

Ketika Usamah mencium wajahnya, beliau tidak mengatakan apa-apa selain mengangkat kedua belah tanganya ke langit serta mengusap kepala Usamah, mendoakannya.

Sikap Khalifah Abu Bakar atas Adanya Usulan Penggantian Usamah

Usamah segera kembali ke pasukannya yang masih menunggu. Setelah semuanya lengkap, mereka mulai bergerak. Belum jauh pasukan itu meninggalkan Juraf, tempat markas perkemahan, datanglah utusan dari Ummu Aiman memberitahukan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah wafat. Usamah segera memberhentikan pasukannya. Bersama Umar bin Khatthab dan Abu Ubaidah bin Jarraf, ia segera menuju rumah Rasulullah. Sementara itu, tentara kaum muslimin yang bermarkas di Juraf membatalkan pemberangkatan dan kembali juga ke madinah.

Abu Bakar Shidiq terpilih dan dilantik menjadi khalifah. Khalifah Abu Bakar meneruskan pengiriman tentara di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, sesuai dengan rencana yang telah digariskan Rasulullah. Tetapi, sekelompok kaum Anshar menghendaki supaya menangguhkan pemberangkatan pasukan. Mereka meminta Umar bin Khattab membicarakannya dengan Khalifah Abu Bakar. Abu Bakar segera memanggil Usamah untuk kembali memimpin pasukan, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah sebelumnya. Tindakan Khalifah tentu saja mendapat reaksi dari beberapa sahabat. Apalagi saat itu beberapa kelompok kaum muslimin murtad dari agama Islam. Kota Madinah memerlukan penjagaan ketat.

Kata mereka, “Jika khalifah tetap berkeras hendak meneruskan pengiriman pasukan sebagaimana dikehendakinya, kami mengusulkan panglima pasukan (Usamah) yang masih muda remaja ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan berpengalaman.”

Mendengar ucapan Umar yang menyampaikan usul dari kaum Anshar itu, Abu Bakar bangun menghampiri Umar seraya berkata dengan marah, “Hai putra Khattab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasululllah. Demi Allah, tidak ada cara begitu!”

Abu Bakar juga berkata, “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, seandainya aku tahu akan dimakan binatang buas sekalipun, niscaya aku akan tetap mengutus pasukan ini ketujuannya. Aku yakin, mereka akan kembali dengan selamat. Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang diberikan wahyu dari langit telah bersabda, “Berangkatkan segera pasukan Usamah!’

Tatkala Umar kembali kepada orang banyak, mereka menanyakan bagaimana hasil pembicaraannya dengan khalifah tentang usulnya. Kata Umar, “Setelah saya sampaikan usul kalian kepada Khalifah, belaiu menolak dan malahan saya kena marah. Saya dikatakan sok berani membatalkan keputusan Rasulullah.

Maka, pasukan tentara muslimin berangkat di bawah pimpinan panglima yang masih muda remaja, Usamah bin Zaid. Khalifah Abu Bakar turut mengantarkannya berjalan kaki, sedangkan Usamah menunggang kendaraan.

Kata Usamah, “Wahai Khalifah Rasulullah! Silakan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki. “
Jawab Abu Bakar, “Demi Allah! jangan turun! Demi Allah! saya tidak hendak naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor, sementara mengantar engkau berjuang fisabilillah! Saya titipkan engkau, agama engkau, kesetiaan engkau, dan kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya berwasiat kepada engkau, laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!”

Kemudian dibalas oleh Usamah dengan jawaban yang penuh makna, “Aku menitipkan kepada Allah agamamu, amanatmu juga penghujung amalmu dan aku berwasiat kepadamu untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah.”

Kemudian, Khalifah Abu Bakar lebih mendekat kepada Usamah. Katanya, “Jika engkau setuju biarlah Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya. Usamah kemudian mengizinkannya.

Kemenangan Usamah

Usamah dan pasukannya terus bergerak dengan cepat meninggalkan Madinah. Setelah melewati beberapa daearah yang masih tetap memeluk Islam, akhirnya mereka tiba di Wadilqura. Usamah mengutus seorang mata-mata dari suku Hani Adzrah bernama Huraits. Ia maju meninggalkan pasukan hingga tiba di Ubna, tempat yang mereka tuju. Setelah berhasil mendapatkan berita tentang keadaan daerah itu, dengan cepat ia kembali menemui Usamah. Huraits menyampaikan informasi bahwa penduduk Ubna belum mengetahui kedatangan mereka dan tidak bersiap-siap. Ia mengusulkan agar pasukan secepatnya bergerak untuk melancarkan serangan sebelum mereka mempersiapkan diri. Usamah setuju. Dengan cepat mereka bergerak. Seperti yang direncanakan, pasukan Usamah berhasil mengalahkan lawannya. Hanya selama empat puluh hari, kemudian mereka kembali ke Madinah dengan sejumlah harta rampasan perang yang besar, dan tanpa jatuh korban seorang pun.

Usamah berhasil kembali dari medan perang dengan kemenangan gemilang. Mereka membawa harta rampasan yang banyak, melebihi perkiraan yang diduga orang. Sehingga, orang mengatakan, “Belum pernah terjadi suatu pasukan bertempur kembali dari medan tempur dengan selamat dan utuh dan berhasil membawa harta rampasan sebanyak yang dibawa pasukan Usamah bin Zaid.”

Kecintaan Kaum Muslimin Kepada Usamah

Usamah bin Zaid sepanjang hidupnya berada di tempat terhormat dan dicintai kaum muslimin. Karena, dia senantiasa mengikuti sunah Rasulullah dengan sempurna dan memuliakan pribadi Rasul.

Khalifah Umar bin Khattab pernah diprotes oleh putranya, Abdullah bin Umar, karena melebihkan jatah Usamah dari jatah Abdullah sebagai putra Khalifah. Kata Abdullah bin Umar, “Wahai Bapak! Bapak menjatahkan untuk Usamah empat ribu dinar, sedangkan kepada saya hanya tiga ribu dinar. Padahal, jasa bapaknya agaknya tidak akan lebih banyak daripada jasa Bapak sendiri. Begitu pula pribadi Usamah, agaknya tidak ada keistimewaannya daripada saya. Jawab Khalifah Umar, “Wah?! jauh sekali?! Bapaknya lebih disayangi Rasulullah daripada bapak kamu. Dan, pribadi Usamah lebih disayangi Rasulullah daripada dirimu.” Mendengar keterangan ayahnya, Abdullah bin Umar rela jatah Usamah lebih banyak daripada jatah yang diterimanya.

Apabila bertemu dengan Usamah, Umar menyapa dengan ucapan, “Marhaban bi amiri!” (Selamat, wahai komandanku?!). Jika ada orang yang heran dengan sapaan tersebut, Umar menjelaskan, “Rasulullah pernah mengangkat Usamah menjadi komandan saya.”

Setelah menjalani hidupnya bersama para sahabat, Usamah bin Zaid wafat tahun 53 H / 673 M pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah.

Itulah cuplikan dari kisah seorang pemuda yang berani dalam membela agama Allah tanpa mempedulikan sesuatu yang mengancam jiwanya, dari sinilah kita sebagai pemuda penerus bangsa dan agama alangkah patutlah meniru sosok seorang sahabat yang pemberani Usamah bin Zaid.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada para sahabat yang memiliki jiwa dan kepribadian agung seperti mereka ini. Wallahu a’lam.

sumber : Klik

Bilal bin Rabah – Mu’adzin Pertama Umat Islam


Bilal bin Rabah, Mu’adzin Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Siapakah gerangan lelaki yang ketika didera siksa dahsyat Kafir Quraisy, hanya kata-kata “ Ahadun-Ahad “ yang keluar dari mulutnya, Siapakah pula lelaki yang pada hari-hari akhirnya mengulang-ulang kata-kata, “Besok kita akan bertemu dengan para kekasih (Muhammad dan para sahabatnya)” ?

Dialah Bilal Bin Rabah Al-Habsyi, Semoga Allah meridloinya, lelaki yang lahir di Mekah, sekitar 43 tahun sebelum hijrah itu tumbuh di Mekah sebagai seorang hamba sahaya milik anak-anak yatim keluarga Bani Abdud Dar yang berada di bawah asuhan Umaiyah bin Khalaf.

Bilal Sebelum Masuk Islam

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekkah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir. Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda.

Masa kecil Bilal dihabiskan di Mekkah, sebagai putra dari seorang budak, Bilal melewatkan masa kecilnya dengan bekerja keras dan menjadi budak. Ia hidup sebagai hamba sahaya, hari-harinya berlalu tanpa beda dan buruk. Ia tidak punya hak pada hari ini, dan tidak punya harapan pada esok hari. Seringkali ia mendengar tuan-nya, Umayyah, berbicara bersama kawan-kawannya pada suatu waktu dan para anggota kabilah di waktu lain tentang Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, dengan pembicaraan yang meluapkan amarah dan ke-dengkian yang sangat.


KEISLAMAN BILAL

Bilal termasuk orang yang teguh dengan pendiriannya. Ketika Rasulullah Saw mulai menyampaikan risalahnya kepada penduduk Mekah, beliau telah lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah saw yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah yang Esa, dan meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia, sebagaimana beliau juga selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi Muhammad saw.

Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah saw, menepati janji, kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan mereka : “Muhammad sama sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli sihir, bukan orang gila, dan terakhir beliau juga mendengar pembicaraan mereka tentang sebab-sebab permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.

Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk mengikrarkan diri masuk Islam karena Allah Tuhan semesta alam. Bilal masuk dalam deretan kelompok yang pertama-tama memeluk Islam (Assabiqunal Awwalin). Taslimnya Bilal saat di atas permukaan bumi baru hanya ada segelintir pemeluk Islam, Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar Sidik, Ali bin Abi Talib, Ammar bin Yasir dan ibunya; Sumaiyah, Shuhaib Ar-Rumi dan Miqdad bin Aswad.

Kemudian menyebarlah perihal masuknya Bilal kedalam agama Islam diseluruh penjuru kota Mekah, hingga sampai kepada tuannya Umayyah bin Khalaf dan menjadikannya marah sekali sehingga ingin menyiksanya dengan sekeras-kerasnya.


Siksaan Terhadap Bilal bin Rabah atas Keislamannya

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Bilal dicambuk hingga tubuhnya yang hitam tersebut melepuh.

Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas di tengah padang pasir saat terik matahari, waktu yang menjadikan padang pasir seakan seperti padang api yang sangat panas, dan penyiksaan yang kejam ini terus berulang setiap hari. Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah2 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.


Abu Bakar Menebus Bilal bin Rabah

Akhirnya Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh Bilal melalui Abu Bakar As Shiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali disiksa oleh majikannya Umayyah, Abu Bakar sedang lewat tidak jauh dari tempat penyiksaannya.

Abu Bakar ash-Shiddiq -Radhiallaahu ‘Anhu datang pada saat mereka menyiksanya, dan meneriaki mereka dengan ucapan, “Apakah kalian membunuh seseorang karena berucap, ‘Rabbku adalah Allah?. Abu Bakar juga berkata, “Wahai Umayah tidakkah engkau takut kepada Allah dalam diri orang miskin ini ?” “Sampai kapan engkau akan berhenti menyiksa seperti ini ? “. Umayahpun berkata kepada Abu Bakar : “Engkau telah merusaknya dan saya ingin menyelamatkannya seperti yang engkau lihat”. Lalu Umayah mencambuknya kembali, hingga merasa putus asa dan meminta kepada Abu Bakar untuk membelinya.

Mendengar hal tersebut, Abu Bakar berniat membeli Bilal dari Umayyah bin Khalaf. Lalu Umayyah pun meninggikan harganya karena ia menduga bahwa Abu Bakar tidak akan mampu untuk membayarnya. Padahal dalam hatinya dia mengatakan, “Jika dia membelinya 1 uqiah pun akan saya jual.” Sebaliknya Abu Bakar juga mengatakan dalam hati, “Jika tidak mau menjualnya di bawah harga 100 uqiah pun akan saya beli.”

Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, "Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya."
Abu Bakar membalas, "Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya…"

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, "Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar." Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, "Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah."


Hijrah ke Madinah

Setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu.. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil

Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman…. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah…. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasallam.. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanyma saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan RasulullahSholallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Dia mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada Rasul yang sangat dicintainya. Dia menjadi pengikut Rasul yang setia dan selalu mengikuti setiap peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf mantan majikannya tewas di tangan pedang kaum muslimin.

Bilal menyertai Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya.

Saat terjadi perang, Bilal menghadang Umayah dan berkata kepadanya : “Pemimpin kekufuran adalah Umayah bin Kholaf, saya tidak akan selamat jika jiwa dia selamat”. Akhirnya riwayat hidup Umayah berakhir di tangan Bilal, tangan yang sebelumnya banyak dibelenggu dengan rantai-rantai dari besi, dan tubuh yang selalu dicambuk dengan pecut.


Penunjukan Bilal bin Rabah sebagai Mu’adzin

Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam. Suaranya yang begitu merdu sangat menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Rasulullah sangat menyukai suara Bilal.

Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.


Penaklukan Mekkah

Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ‘sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu…. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah."

Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah)."

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."


Adzan Bilal pada Saat Wafatnya Rasulullah


Sesaat setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.


Keistimewaan Bilal bin Rabah

Bilal hidup bersama Rasulullah saw dan selalu mengumandangkan Adzan untuk sholat, dan menghidupkan syi’ar agama ini yang telah mengeluarkannya dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan pada kemerdekaan, hingga setiap hari kedekatan Bilal dengan Rasulullah saw kian bertambah yang mana beliau (Rasulullah saw) pernah mensifatinya dengan calon penghuni surga, namun demikian beliau tetap seperti biasa, Bilal yang ramah, sopan tidak pernah merasa dirinya lebih baik dari sahabatnya yang lain.

Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.

"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."

Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat."

"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah.

Menurut riwayat Bukhari,

Nabi pernah bersabda kepadanya setelah shalat subuh : “Ceritakan kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam Islam, karena sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun yang lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada setiap saat; baik malam dan siang hari kecuali saya melakukan shalat sebagaimana yang ditentukan untuk saya melakukan shalat”. (Al-Bukhari).


Sepeninggal Rasulullah

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, "Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya."

Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah."

Bilal menyahut, "Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat."

Abu Bakar menjawab, "Baiklah, aku mengabulkannya."


Mimpi Bertemu Rasulullah

Mimpi pertama bertemu Rasulullah itu dalam mimpinya, Rasulullah Saw berkata kepada Bilal: “Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu,” Kemudian Bilal menjawab: “Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal bin Rabah segera memenuhi ruangan kosong dihampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.

Pada suatu hari, ia bermimpi lagi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya itu Nabi saw bersabda kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang menghalangimu sehingga engkau tidak pernah menjengukku ?” Setelah bangun dari tidurnya, Bilal ra pun segera pergi ke Madinah. Setibanya di Madinah, Hasan dan Husain ra meminta Bilal ra agar mengumandangkan adzan. Ia tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang dicintainya itu. Ketika ia mulai mengumandangkan adzan, maka terdengarlah suara adzan seperti ketika zaman Rasulullah saw masih hidup. Hal ini sangat menyentuh hati penduduk Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar dari rumah masing-masing sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal ra itu. Setelah beberapa hari lamanya Bilal ra tinggal di Madinah, akhirnya ia meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat di sana pada tahun kedua puluh Hijriyah.


Bilal Meninggalkan Madinah untuk Berjihad di Syam

Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali,

"Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal)."

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.

BiIal, "pengumandang seruan langit itu", tetap tinggal di Damaskus hingga wafat. Saat menjelang kematiannya, istri Bilal menunggu di sampingnya dengan setia seraya berkata, "Oh, betapa sedihnya hati ini…."

Tapi, setiap istrinya berkata seperti itu, Bilal membuka matanya dan membalas, "Oh, betapa bahagianya hati ini…. "

Menjelang wafatnya Bilal pada tahun keduapuluh Hijriyah untuk menghadap sang Khalik, Bilal seringkali mengucapkan kata-kata secara secara beulang-ulang, kata tersebut adalah:

"Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya"

Bilal meninggal di Syam dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah, sebagaimana yang dikehendakinya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya ridha kepadaNya.

Sumber : klik

Salman al-Farisi – Pejuang Islam dari Persia


Pencarian Iman oleh sahabat Rasulullah yang oleh Rasulullah sendiri diibaratkan sebagai bintang yang dapat dicapai oleh Salman al-Farisi sangat menginspirasi para pejuang kaum muslimin, para shahabat, maupun kita sebagai umat Rasulullah. Sumbangan terbesar Salman Al-Farisi adalah pemikirannya yang cemerlang dalam pembuatan parit untuk membendung pasukan Quraisy dalam Perang Khandaq, sebuah strategi perang yang belum dikenal oleh kaum Arab sebelumnya..

PERJUANGAN SALMAN DALAM PENCARIAN IMAN

Salman dilahirkan dengan nama Persia, Rouzbeh, di kota Kazerun, Fars, Iran. Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa. Dia adalah orang terkaya di sana dan memiliki rumah terbesar.

Kisah Salman diceritakan langsung kepada seorang sahabat dan keluarga dekat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abbas: Diriwayatkan oleh Salman r.a, bahawa dia telah meriwayatkan kisahnya:

“Aku merupakan seorang pemuda Parsi tinggal di Asbahan di sebuah kampung yang dipanggil (Jian), ayah aku merupakan seorang ketua kampung dan dari kalangan orang yang paling kaya dan mendapat kedudukan yang tinggi.

Semenjak aku dilahirkan aku merupakan orang yang paling suka terhadap apa yang diciptakan oleh Allah kepadanya, begitu juga dengan kasih sayangnya kepadaku berkekalan malah semakin bertambah beberapa hari sehingga aku dikurung di rumah sebagaimana dia mengurung anak perempuan kerana bimbang terhadap diriku.

Aku seorang yang kuat berjuang mempertahankan agama majusi sehingga dari pagi lagi aku ke tempat penyembahan api yang kami sama-sama sembah, malah aku di amanahkan untuk menyalakan api tersebut agar ia tidak terpadam siam ataupun malam.

Ayahku memiliki sebuah ladang yang besar dan mengeluarkan hasil yang sangat lumayan kerana ayahku sendiri yang menguruskan ladang tersebut dan merasai hasilnya.

Pada suatu hari, ayahku ingin pergi ke kampung Syaghil, lalu dia berkata kepadaku: Wahai anakku, sesungguhnya aku telah berusaha sebagaimana yang kamu lihat terhadap ladang itu. Maka pada hari ini pergilah kamu ke ladang itu untuk mengganti aku menguruskannya. Lalu aku pun keluar dengan niat menuju ke ladang tersebut.

Di tengah-tengah jalan aku melalui salah sebuah gereja kristian, lalu aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang dari dalam gereja tersebut, aku pun menumpukan perhatianku terhadap ucapan mereka. Aku sebenarnya tidak tahu sedikitpun berkenaan dengan urusan agama Kristian atau urusan agama-agama lain oleh kerana halangan yang dilakukan oleh ayahku di rumah kami dari orang ramai. Setelah aku mendengar suara mereka, aku pun terus masuk ke dalam gereja mereka untuk mengetahui apakah yang dilakukan oleh mereka.

Apabila aku memerhatikan cara mereka sembahyang, aku merasa tertegun. Lalu aku merasa berminat kepada agama mereka dan aku berkata: “Demi Allah sesungguhnya agama ini adalah lebih baik dari apa yang kami lakukan”. “Demi Allah aku tidak akan meninggalkan gereja ini sehingga matahari terbenam dan aku juga tidak akan pergi ke ladang ayahku. Kemudian aku menyoal mereka: Dari manakah agama ini berasal? Mereka menjawab: Dari negeri Syam.

Setelah malam baru aku pulang ke rumahku, tiba-tiba aku terserempak dengan ayahku dan dia bertanya apakah yang telah aku lakukan. Aku berkata: Wahai ayahku, sesungguhnya aku melalui kawasan sekumpulan manusia yang sedang sembahyang di dalam gereja mereka. Aku terasa kagum terhadap agama mereka. Oleh sebab itulah aku berada bersama mereka sehinggalah matahari terbenam. Lalu ayahku merasa bimbang terhadap apa yang aku lakukan itu dan dia berkata: Wahai anakku, itu bukanlah agama yang paling baik, sesungguhnya agama kamu dan agama ayah kamu itulah yang lebih baik.

Aku berkata: Tidak wahai ayahku, agama mereka lebih baik dari agama kita. Lantas ayahku mula terasa bimbang terhadap jawapanku itu dan dia juga bimbang aku akan berpaling dari agama majusi. Lalu dia mengurung aku di rumah secara mengikat kaki dan badanku.

SALMAN PERGI KE NEGERI SYAM

Setelah suasana mengizinkan, aku terus menghantar utusan kepada Nasrani dan aku memberitahu kepada mereka: Apabila datang kendaraan yang ingin menuju ke negeri Syam maka beritahulah kepadaku. Setelah beberapa ketika datanglah kendaraan yang ingin menuju ke negeri Syam, lalu Nasrani tersebut memberitahu kepadaku.

Aku terus mencoba membuka ikatan yang mengikat badanku sehinggalah berhasil, aku pun terus keluar bersama rombongan tadi secara sembunyi sehinggalah sampai ke negeri Syam. Apabila kami tiba di sana, aku pun bertanya: Siapakah lelaki yang paling mulia bagi agama Nasrani ini?. Mereka berkata: Al-Asqaf penjaga gereja.

lalu aku bertemu dengan lelaki tersebut dan berkata: Sesungguhnya aku tertarik dengan agama kamu dan suka untuk bersama kamu, berkhidmat untuk kamu, belajar dengan kamu dan sembahyang bersama kamu. Lelaki itu berkata: Masuklah.

Aku pun masuk ke dalam gereja itu dan mula berkhidmat kepadanya. Kemudian setelah beberapa waktu aku bersamanya, aku dapat tahu bahawa dia seorang lelaki yang jahat. Dia memerintahkan pengikutnya supaya mengeluarkan sedekah dan menerangkan kelebihan sedekah. Lalu apabila dia diberikan sesuatu supaya dibelanjakan pada jalan Allah, dia menyimpan sedekah yang diberikan itu untuk dirinya dan tidak diberikan kepada fakir miskin sedikitpun sehingga dia dapat mengumpulkan sebanyak tujuh tempayan emas.

Setelah aku melihat sifatnya yang sedemikian, aku mula timbul perasaan sangat marah. Kemudian setelah beberapa ketika lelaki tersebut mati dan pengikut-pengikut agama Nasrani berkumpul untuk menanam mayatnya, lalu aku berkata kepada mereka: Sesungguhnya tuan kamu ini seorang lelaki yang jahat. Dia menyuruh kamu agar mengeluarkan sedekah dan menerangkan kelebihan sedekah. Tetapi apabila kamu membawa sedekah kepadanya, dia menyimpan sedekah yang diberikan itu untuk dirinya dan tidak diberikan kepada fakir miskin walaupun sedikit.

Mereka bertanya: Dari mana kamu tahu semua ini? Aku berkata: Aku akan tunjukkan tempat simpanan hartanya kepada kamu. Mereka menjawab: Tunjukkanlah. Lalu aku menunjukkan tempat harta itu dan mereka mengeluarkan dari tempat itu tujuh tempayan yang penuh dengan emas dan perak. Setelah mereka melihat harta itu, mereka berkata: Demi Allah kami tidak akan menanam mayat ini.

Kemudian lelaki itu di salib dan direjam dengan batu. Setelah berlalu beberapa ketika tempat lelaki tersebut diganti dengan lelaki lain dan aku terus berada bersamanya. Setelah bersamanya, aku dapati dia seorang lelaki yang paling zuhud di dunia, paling mengejar akhirat dan suka melakukan ibadat siang dan malam. Aku terlalu suka kepada lelaki ini, oleh sebab itu aku dapat tinggal bersamanya dengan begitu lama.

Setelah dia hampir mati, aku berkata kepadanya: Wahai Polan nasihatkan kepadaku siapakah yang boleh aku tinggal bersamanya selepas kamu ini? Lalu dia berkata: Wahai anakku, aku tidak mengetahui pada zaman kamu ini melainkan seorang lelaki sahaja yang berada di Al-Muassal yang bernama Si Polan. Dia tidak pernah menyeleweng dan tidak pernah menukar kebenaran, maka ikutlah dia.

Setelah tuanku meninggal dunia, aku terus pergi ke Al-Muassal untuk mencari lelaki tersebut. Setelah berjumpa dengannya, aku menceritakan kepadanya tentang keadaan diriku. Aku berkata kepadanya:

Sesungguhnya lelaki tersebut telah memberi wasiat kepadaku semasa dia hampir mati supaya mencari kamu dan dia menceritakan bahawa kamulah satu-satunya orang yang berpegang teguh kepada kebenaran yang berada pada kamu.

Lalu dia berkata: Tinggallah bersamaku. Lalu aku tinggal bersamanya dan aku dapati dia memang seorang yang sangat baik.

Setelah beberapa ketika sebelum beliau meninggal dunia aku berkata kepadanya:

Wahai Polan telah datang perintah Allah kepada kamu sebagaimana yang kamu lihat dan kamu ketahui tentang keadaan aku, kamu mewasiatkan aku kepada siapakah dan siapakah yang kamu perintahkan supaya aku berjumpa dengannya?

Lalu dia berkata:

Wahai anakku, demi Allah aku tidak tahu adakah masih ada orang seperti kita ini selain seorang lelaki yang berada di Nasibaini iaitu Si Polan, kamu carilah dia.

Setelah tuanku itu dikebumikan, aku berjumpa dengan lelaki yang dikatakan berada di Nasibaini dan aku menceritakan kepadanya tentang diriku dan pesanan yang disampaikan oleh taunku itu. Lalu dia berkata kepadaku: “Kamu tinggalah di sini bersamaku”.

Aku pun terus tinggal bersamanya malah aku dapati kebaikan yang ada pada lelaki ini sama dengan lelaki yang sebelumnya. Demi Allah setelah beberapa ketika dan sebelum beliau meninggal dunia, aku berkata kepadanya:

Sesungguhnya kamu mengetahui keadaan diriku sebagaimana yang telah kamu ketahui, kepada siapakah pula kamu mewasiatkan diriku

Dia berkata:

Wahai anakku, demi Allah aku tidak dapati adakah masih ada seseorang yang hidup seperti kita ini selain seorang lelaki yang berada di Amuriah iaitu Si Polan.

Lalu aku mencari lelaki itu dan menceritakan kisah diriku. Dia berkata: Kamu tinggallah bersamaku. Aku pun tinggal bersamanya dan demi Allah dia berada di atas petunjuk sebagaimana sahabatnya dahulu, malah semenjak aku bersamanya aku memperolehi beberapa ekor lembu dan kambing.

RAHIB MENGANJURKAN SALMAN UNTUK MENEMUI RASULULLAH

Setelah beberapa ketika tibalah ketetapan Allah sebagaimana yang telah ditetapkan kepada sahabatnya yang dahulu, ketika hampir mati aku berkata kepadanya:

Sesungguhnya kamu mengetahui tentang diriku sebagaimana yang kamu ketahui, oleh itu wasiatkanlah kepadaku siapakah orangnya selepas kamu ini untuk aku temui dan apakah pesanan kamu?

Lalu dia berkata:

Demi Allah wahai anakku, seperti yang aku tahu sudah tidak ada seorangpun di atas muka bumi ini yang masih berpegang teguh kepada ajaran sebagaimana yang kita anuti ini. Tetapi suatu hari nanti akan lahir di Semenanjung Tanah Arab seorang nabi yang diutuskan dengan agama Ibrahim. Kemudian lelaki ini akan berhijrah meninggalkan tanah airnya menuju ke negeri yang banyak pokok tamar yang berada di antara dua kebebasan dan pada dirinya terdapat tanda-tanda yang jelas. Dia memakan pemberian hadiah dan tidak makan harta sedekah manakala di antara dua bahunya pula terdapat bukti kenabian. Sekiranya kamu mampu untuk mencarinya di negeri tersebut maka lakukanlah.

Setelah temanku itu wafat aku berada di Amuriah beberapa saat.

KEDATANGAN SALMAN KE SEMENANJUNG ARAB

Pada suatu hari rombongan perniagaan Tanah Arab dari kabilah (Kalb) telah datang ke Amuriah. Aku terus berkata kepada mereka: Sekiranya aku dibawa bersama kamu ke tanah arab aku akan berikan kepada kamu lembu dan kambingku ini. Mereka menjawab: Kami setuju.

Lalu aku memberikan kepada mereka sebagaimana yang aku janjikan dan mereka membawa aku bersama mereka. Sehingga apabila sampai ke sebuah wadi yang bernama Wadi Al-Qura mereka melakukan pengkhianatan terhadap diriku, mereka menjual aku kepada salah seorang Yahudi yang menyebabkan aku terpaksa berkhidmat untuknya.

Kemudian setelah beberapa ketika tibalah sepupu Yahudi tersebut dari Bani Quraizah menziarahinya lalu dia membeli aku dari Yahudi tadi dan membawa aku bersamanya ke Yathrib. Setelah tiba di Yathrib aku melihat pokok-pokok tamar sebagaimana yang telah diceritakan oleh sahabatku di Amuriah dahulu dan aku dapat kenali Madinah sebagaimana yang disifatkan oleh beliau. Dengan itu aku berada di Yathrib dan tinggal bersama tuanku dari Bani Quraizah. Pada ketika ini Nabi s.a.w sedang menyeru kaumnya di Mekah, tetapi aku tidak mendengar berita mengenainya kerana disibukkan oleh kerja-kerja perhambaan yang diwajibkan ke atas diriku.

ISLAMNYA SALMAN AL-FARISI

Kemudian apabila Rasulullah s.a.w berhijrah ke Yathrib, demi Allah ketika itu aku sedang menyusun daun tamar (membuat peneduh) bagi tuanku untuk melakukan kerja di dalamnya. Ketika tuanku berada di bawah peneduh tersebut tiba-tiba datang sepupunya dan berkata kepada tuanku: Semoga Allah memusnahkan Bani Qilah, demi Allah mereka sekarang sedang berkumpul di Quba’ menyambut kedatangan seorang lelaki dari Mekah dan mendakwa dia sebagai seorang nabi.

Setelah mendengar kata-kata tersebut, aku seolah-olah ditimpa demam. Keadaanku itu sangat mengejutkan tuanku sehingga hampir menjatuhkan dirinya dari tempat peneduh tersebut, lalu dia bergegas turun dari gerai tersebut kemudian aku bertanya lelaki tadi: Coba kamu ulangi kata-kata kamu tadi, apa dia? Lalu aku dimarahi oleh tuanku dengan pertanyaan itu dan menumbuk diriku dengan kuat kemudian dia berkata kepadaku: Kenapa dengan kamu ini? Teruskan kerja kamu itu.

Apabila waktu petang, aku mengambil beberapa biji tamar yang telah aku kumpulkan dan aku pergi ke tempat Rasulullah s.a.w dan aku berkata kepadanya:

Sesungguhnya aku telah diberitahu bahawa kamu merupakan seorang lelaki yang soleh dan bersama kamu terdapat beberapa orang yang dagang dan memerlukan bantuan. Ini ada beberapa biji tamar untuk aku sedekahkan kerana aku melihat kamu lebih berhak daripada orang lain.

Kemudian aku mendekatinya, lalu dia berkata kepada sahabatnya: Kamu semua makanlah, sedangkan Rasulullah sendiri masih menggenggam tamar tersebut di tangan baginda dan tidak makan. Aku terus terlintas di dalam hatiku: Telah jelas satu bukti.

Kemudian aku beredar seterusnya aku mengumpulkan lagi sejumlah tamar. Apabila baginda ingin berangkat dari Quba’ ke Madinah aku datang bertemu dengannya dan aku berkata kepadanya:

Aku melihat kamu tidak memakan sedekah dan ini merupakan hadiah sebagai penghormatan dariku.

Lalu Rasulullah memakan sebahagian dari tamar itu dan menyuruh sahabatnya agar makan bersamanya. Lalu aku berkata di dalam diriku: Kini telah jelas dua bukti.

Kemudian aku berjumpa lagi Rasulullah, ketika itu baginda berada di Baqi’ Al-Gharqad yang sedang mengebumikan mayat salah seorang sahabat baginda. Setelah aku melihat baginda sedang duduk dan di badan baginda terdapat sehelai kain serban, aku memberi salam kepada baginda dan berjalan di belakang baginda untuk melihat tanda yang telah disifatkan oleh tuanku di Amuriah suatu ketika dahulu.

Setelah baginda melihat aku sedang memerhatikan belakang baginda, baginda terus mengetahui tujuanku, lalu baginda menarik kain serban dari belakang baginda dan aku terus dapat melihat tanda itu. Dari situ aku dapat ketahui bahawa aku memang telah bertemu dengan lelaki yang aku cari-cari selama ini, lalu aku membuka tanganku dan merendahkan diri serta mengucup Rasulullah s.a.w dan menangis.

Lalu Rasulullah s.a.w bertanya: Apa cerita kamu ni? Lalu aku menceritakan keseluruhan kisahku kepada baginda dan baginda merasa kagum terhadap apa yang aku alami selama ini, malah baginda terlalu suka jika aku dapat menceritakan ceritaku itu kepada para sahabat baginda, lalu aku ceritakan kepada mereka kisah diriku.

Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku:’Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.”

Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.

Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan lainnya.

PERAN SALMAN AL-FARISI DALAM PERANG KHANDAQ


Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.

Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam — yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimim sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.

Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:

Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah nakh sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)

Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Agama serta para shahabatnya.

Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.

Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?

Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu!’ Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.

Di negerinya Persi, Salman radhiyallahu ‘anhu telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.

Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman radhiyallahu ‘anhu tersebut.

Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.

Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta’ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka … dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit …

PUJIAN RASULULLAH ATAS KECERDASAN SALMAN

Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman radhiyallahu ‘anhu melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.

Pada suatu hari Salman radhiyallahu ‘anhu bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunnat esok hari. Dia menyalahkannya: “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” Maka jawab Salman radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah; dan di samping melakukan shalat, tidurlah!”

Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah, maka sabdanya: Sungguh Salman radhiyallahu ‘anhu telah dipenuhi dengan ilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sering memuji kecerdasan Salman radhiyallahu ‘anhu serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama berdiri dan berkata: “Salman radhiyallahu ‘anhu dari golongan kami”. Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: “Tidak, ia dari golongan kami!” Mereka pun dipanggil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sabdanya: Salman adalah golongan kami, ahlul Bait.

PENGHORMATAN ALI DAN UMAR TERHADAP SALMAN

Dan memang selayaknyalah jika Salman radhiyallahu ‘anhu mendapat kehormatan seperti itu …! Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggelari Salman radhiyallahu ‘anhu dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”.

Dalam kalbu para shahabat umumnya, pribadi Salman radhiyallahu ‘anhu telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum penah dilakukannya kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para shahabat dan mengajak mereka: “Marilah kita pergi menyambut Salman radhiyallahu ‘anhu!” Lalu ia keluar bersama mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya …

KESEDERHANAAN KEHIDUPAN SALMAN

Di tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul masalah pertanggungjawaban secara hukum mengenai perimbangan dan cara pembagian itu, hingga pekerjaan pun bertumpuk dan jabatan tambah meningkat.

Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman radhiyallahu ‘anhu? Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu …?

Bukalah mata anda dengan baik! Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya di samping berbakti untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.

Nah, itulah dia Salman radhiyallahu ‘anhu Perhatikanlah lagi dengan cermat! Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal ia seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis, satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya: “Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham.

Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!”

Diriwayatkan eleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: “Tunjangan Salman radhiyallahu ‘anhu sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.

Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha Tinggi lagi Maha Pengasih.

Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman radhiyallahu ‘anhu menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah”,’) tanya Sa’ad, “padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dalam keadaan ridla kepada anda?” “Demi Allah, ujar Salman radhiyallahu ‘anhu, “daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya: Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”

Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: “Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!” Maka ujamya: “Wahai Sa’ad!

Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita.
Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi.
Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.

Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Sebagai telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.

Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman radhiyallahu ‘anhu menurut dengan patuh. “Tolong bawakan barangku ini!”, kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman radhiyallahu ‘anhu, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama.

Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman radhiyallahu ‘anhu memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: “Juga kepada amir, kami ucapkan salam” “Juga kepada amir?” Amir mana yang mereka maksudkan?” tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman radhiyallahu ‘anhu dengan maksud hendak menggantikannya, kata mereka: “Berikanlah kepada kami wahai amir!”

Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman radhiyallahu ‘anhu menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!

Suatu ketika Salman radhiyallahu ‘anhu pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya: “Karena manis waktu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!”

Pada waktu yang lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman radhiyallahu ‘anhu, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: “Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus”

Apa sebenarnya yang kita sebut “rumah” itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenamya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai “rumah” itu, Salman radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada tukangnya: “Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?” Kebetulan tukang bangunan ini seorang ‘arif bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman radhiyallahu ‘anhu dan sifatnya yang tak suka bermewah mewah. Maka ujarnya: “Jangan anda khawatir! rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya”. “Benar”, ujar Salman radhiyallahu ‘anhu, “seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!”

Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman radhiyallahu ‘anhu sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.

WAFATNYA SALMAN AL-FARISI

Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikacau dengan tangannya, lalu kata Salman radhiyallahu ‘anhu kepada isterinya: “Percikkanlah air ini ke sekelilingku … Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah’) yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh isterinya.

Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya … Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dengan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tolroh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama ….

Salman radhiyallahu ‘anhu …. Lamalah sudah terobati hati rindunya Terasa puas, hapus haus hilang dahaga. Semoga Ridla dan Rahmat Allah menyertainya.

Sumber : klik

Perang Hunain – Ujian lain untuk Kaum Anshar


“Dan ingatlah peperangan Hunain, ketika waktu itu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah mereka, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai” (QS At-Taubah: 25).

Dari ayat tersebut Allah SWT telah memberikan pelajaran berharga kepada kaum Muslimin agar membuang jauh-jauh sifat congkak/takabur, merasa diri lebih besar dari lawan yang dihadapinya. Peperangan itu bermula ketika Rasulullah saw dan para pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 12 ribu orang prajurit, pada 6 Syawal 8 H berangkat dari Mekah menuju suatu tempat yang diberi nama Hunain. Jumlah 12 ribu merupakan jumlah terbesar dari pasukan kaum Muslimin selama peperangan melawan orang-orang kafir. Melihat banyaknya pasukan pada saat itu, beberapa sahabat mengatakan, “Hari ini kita pasti menang, karena jumlah kita yang cukup banyak”. Mendengar perkataan tersebut, Rasulullah sangat resah.

Awal Peperangan

Setelah Rasulullah SAW berhasil menaklukan kota Mekkah pada tahun 8 Hijriah, beliau mendengar informasi bahwa penduduk Tha’if berkumpul di tempat kediaman tokoh mereka yang bernama Malik ibn ‘Auf an-Nadhari, seorang yang cerdas, tangkas, dan pemberani.
Memang benar. Malik ibn ‘Auf an-Nadharii yang telah berusia empat puluh tahun itu megumpulkan pimpinan-pimpinan dari berbagai kabilah yang terdapat di negeri Tha’if itu dirumahnya. Yakni kabilah ‘Utaibah, kabilah Tsaqif, sebagian kabilah Ghathfan, dan kabilah Najed dari Bani Tamiim.

Dalam pertemuan tersebut, Malik ibn ‘Auf an-Nadharii berkata kepada mereka, “Wahai sekalian manusia, Muhammad mengira bahwa keberhasilannya menaklukan kota Mekkah berarti bahwa ia akan berhasil menaklukan negeri Tha’if ini. Sungguh tidak akan bisa.” Lalu ia bersumpah dengan nama Laata dan Uzaa (berhala mereka) untuk memerangi Rasulullah SAW dengan peperangan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya di kalangan bangsa Arab.

Kemudian ia memerintahkan agar kabilah-kabilah itu keluar sambil membawa kaum wanita, anak-anak, sapi, unta dan kambing yang dimilikinya, sehingga tidak ada seorang pun yang dimilikinya, sehingga tidak ada seorang pun yang mempunyai istri, anak atau harta milik kecuali harus membawanya dalam penyerbuan terhadap Rasulullah SAW. Pasukan mereka berjumlah sekitar duabelas ribu tentara yang kesemuanya adalah para pemberani dari bangsa Arab.

Dalam perang Hunain yang sangat terkenal itu, Malik bin ‘Auf al-Nashriy memimpin orang-orang Hawazin dan Tsaqif melawan pasukan kaum Muslimin yang saat itu dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw. Laki-laki, perempuan, anak-anak bahkan seluruh ternak dikumpulkannya di dataran Autas. Hawa perang dikobar-kobarkannya. Hal demikian sempat dikritik oleh seorang pejuang tua, Duraid. Namun semangat perang Malik tetap menggelegak. Tak ada satupun orang di lingkungannya yang mampu menahan kobaran semangat itu.

Pasukan Muslimin Tiba di Hunain

Sesampainya pasukan rasulullah SAW di lembah Hunain, beliau memerintahkan mereka untuk beristirahat di sana, lalu berkata, “Siapa diantara kalian yang besedia berjaga-jaga sampai pagi untuk melindungi pasukan kita yang sedang beristirahat (tidur)? Balasannya adalah surga.”

Para sahabat berebut untuk menerima tawaran Rasulullah SAW tersebut,, namun Ibnu Abi Hadrad mendahului mereka dengan berkata, “Aku yang akan menjaga mereka, ya Rasulullah, dengan satu syarat (yakni syurga).” Rasulullah SAW menjawab, “Baiklah. Awasi selalu kedatangan musuh, karena kita khawatir mereka datang menyerang di tengah gelapnya malam.” Ibnu Abi Hadrad berkata lagi, “Labbaik wa sa’daik (akan aku lakukan perintahmu dengan senang hati, ya Rasulullah).” Kemudian ia pergi ke puncak gunung dan berdiri disana.

Malam itu Rasulullah bangun, sedang para sahabat tidur. Ketika fajar menyingsing, Rasulullah SAW berwudhu’ lalu melakukan shalat sunnah fajar dua rakaat. Ketika masuk waktu subuh, sang muadzin pun mengumandangkan adzan, dan para sahabat pun bangun dan melaksanakan shalat berjamaah bersama beliau. Sementara itu Ibnu Abi Hadrad, yang diberi amanah untuk menjaga-jaga sampai pagi, tertidur pulas dan tidak tahu sama sekali dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Rupanya pada saat shalat berjamaah sedang berlangsung itulah datang serangan mendadak dari pasukan Malik ibn ‘Auf an-Nadhari.

Jalannya Peperangan

Ibnu Abi Hadrad berkata, “Ketika aku terbangun, aku melihat pasukan Malik ibn ‘Auf an-Nadhari telah berdatangan bagai banjir bandang. Mereka telah berada disampingku, sehingga aku tidak sempat lagi berteriak memberitahu Rasulullah SAW.

“Hujani mereka dengan fanah!” kata Malik ibn ‘Auf an-Nadhari kepada pasukannya yang merupakan para pemanah Arab yang terkenal. Merekapun langsung melaksanakan perintah tersebut dengan menghujani pasukan Rasulullah SAW dari atas bukit. Panah-panah pun berterbangan di atas kepala pasukan kaum Muslimin bagaikan awan yang menggulung di udara.

Serangan yang mendadak ini telah membuat pasukan Rasulullah SAW menjadi panik dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kuda dan unta merekapun berlarian ke sana-kemari tak tentu arah.
Rasulullah SAW tidak membiarkan kepanikan itu berlangsung lama. Beliau segera memerintahkan pasukannya untuk bangkit bertempur melawan Malik ibn ‘Auf an-Nadhari dan pasukannya.

Salah seorang dari pasukan Malik ibn Auf an-Nadhari yang bernama Duraid ibn ash-Shamah berkata kepadanya, “Wahai Malik ibn Auf mengapa engkau menyuruh para pasukanmu untuk membawa serta anak-anak dan istri-istri mereka. Sesungguhnya aku mendengar jerit tangis keluarga mereka itu?” Malik ibn Auf an-Nadhari menjawab, “Aku takut mereka akan lari meninggalkan pertempuran ini jika keluarga mereka tidak diikutsertakan, dimana mereka pasti akan teringat untuk pulang kerumah menemui keluarga ketika berperang.” Duraid ibn ash-Shamah berkata, “Demi Allah, bila kita kalah, pendapatmu ini bukanlah pendapat yang benar.”

Sebagian pasukan Malik ibn Auf an-Nadhari hendak berbalik darinya. melihat gelagat mereka, Malik, yang ada diatas bukit, menghunus pedangnya dan berkata, “Wahai segenap orang Arab, bagaimana kalian ini sebenarnya? Apakah kalian akan benar-benar menuruti perintahku? Jika tidak, aku akan menusukkan pedangku ini ke perutku sendiri.” Mereka menjawab, “kami patuh kepadamu.”

Kekalahan Pasukan Muslimin

Malik menggunakan strategi yang cemerlang dengan mengajak pasukannya menghadang pasukan Rasulullah di sebuah lorong sempit pada sebuah lembah. Mereka akan menggunakan serbuan tiba-tiba dan mematikan untuk mengacau-balaukan musuh.

Pasukan kafir yang dipimpin oleh Malik bin Auf ternyata lebih dulu sampai di Hunain. Dengan cerdik, sebagian dari mereka menyebar, bersembunyi di lorong-lorong lembah dan bersiap menyerang dengan anak panah dari berbagai arah. Maka ketika pasukan Islam mulai maju menyerang, tiba-tiba hujan anak panah datang dari segala penjuru. Akibatnya, pasukan itu pun porak poranda, masing-masing lari menyelamatkan diri tanpa mempedulikan temannya.

Maka malam harinya dalam kegelapan menjelang fajar, ketika melewati celah itu kaum muslimin diserang tikaman dan dihujani anak panah dari berbagai penjuru arah. Pasukan yang berjumlah 12.000 personil itupun kocar-kacir. Dalam kegelapan, masing-masing berusaha mencari perlindungan. Para Sahabat yang ikut berperang dengan ikhlas karena Allah, mencari perlindungan didorong oleh naluri kemanusiaannya yang alami. Sedangkan mereka yang baru masuk Islam dan berangkat berperang tanpa tujuan yang jelas mencari perlindungan karena takut dan berbisik-bisik menunggu kekalahan pasukan Islam bahkan ada yang berencana membunuh Rasulullah saw. Tidak ada yang tersisa di celah itu kecuali Rasulullah SAW dan pamannya Abbas, serta sekelompok kecil kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedang di pihak kaum Muslim, mereka tidak ada yang sanggup bertahan kecuali delapan puluh orang saja. Yang delapan puluh orang itu pun akhirnya mundur juga ke belakang kecuali hanya enam orang saja. Melihat itu, Rasulullah SAW mencoba memanggil mereka namun suara beliau tidak terdengar lagi oleh mereka. Beliau menyeru mereka, tapi mereka tidak mendengar suaranya.

Pada saat yang sulit dan kritis itu Rasulullah SAW tetap memutuskan untuk tetap maju sambil berusaha bertahan di atas bagal putihnya.

Maka, Rasulullah SAW yang sedang berada diatas Bighal-nya (bighal adalah binatang peranakan kuda), berkata, “Aku adalah keturunan si ‘Atiqah” (‘Atiqah adalah salah seorang dari nenek Rasulullah SAW yang merupakan wanita Arab yang paling mulia dan terhormat, yang tidak melahirkan kecuali para pejuang ulung.”

Kemudian beliau turun dari bighal-nya itu dan berkata, “Aku adalah seorang nabi. Tak ragu lagi padanya. Dan aku adalah anak dari Abdul Muthallib. Selamanya aku tidak akan lari dari pertempuran.”

Dan memang Rasulullah SAW diharamkan oleh Allah SWT untuk lari dari pertempuran. Allah SWT berfirman, “Maka berperanglah pada jalan Allah, tidakkah engkau di bebani melainkan dengan kewajiban engkau sendiri.” (QS. AN-Nisaa’ (4): 84)

Pasukan Muslimin Dipersatukan oleh Teriakan Paman Rasulullah, Abbas

Kemudian beliau berkata kepada pamannya Abbas, yang berada di sampingnya, “Wahai Abbas, pamanku, panggillah orang-orang yang lari itu.” ‘Abbas terkenal mempunyai suara yang keras. Maka ‘Abbas pun berseru, “Wahai orang-orang Muhajirin. Wahai orang-orang Anshar. Kemarilah kalian, temui Rasulullah SAW!” Namun tidak seorang pun dari mereka memenuhi panggilannya, sebab mereka di bawa lari oleh kuda dan untanya masing-masing.

Rasululllah SAW memerintahkan lagi, “Serulah orang-orang Anshar!” Sebab mereka telah berjanji kepada beliau pada hari Aqabah bahwa mereka akan setia melindungi beliau sebaggaimana mereka melindungi anak-anak, istri-istri dan benda-benda mereka sendiri. Rasulullah SAW hendak mengingatkan mereka akan janji-janji setia yang telah merekalontarkan itu. Maka ‘Abbas pun menyeru mereka, tapi tetap saja tidak ada seorang pun yang menyahutinya.

Lalu Rasulullah SAW memerintahkan lagi, “Serulah orang-orang yang berbaiat kepadaku di bawah pohon Samarah!” Lalu, Serulah Bani Al-Khazraj!” Namun, setelah masing-masing mereka diseru oleh ‘Abbas, tetap tidak ada yang datang memenuhi seruannya.

Di saat yang genting itu Abbas yang memiliki suara yang nyaring dan berat, berteriak, “ Hai kaum Anshar, hai orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon!” suara teriakan Abbas itu menggema karena dipantulkan celah lembah yang sempit.

Mendengar teriakan yang menggema itu, pasukan dari golongan Anshar yang kocar-kacir itu tersadar. Mereka ingat peristiwa bai’at Aqabah kedua yang berlangsung di bawah sebuah pohon sebelum terjadinya peristiwa Hijrah (kepindahan Rasulullah dari Makkah ke Madinah). Baiat itu untuk memastikan kesiapan mereka menerima hijrah Rasulullah dan kaum muslim yang waktu itu mendapat intimidasi yang sangat keras dari kafir Mekkah dan bahkan rencana pembunuhan pun telah didengungkan untuk mereka.

Ingatan Kaum Anshar tentang Baiat Mereka kepada Rasulullah

Saat itu mereka datang ke Mekkah untuk bertemu Rasulullah Saw. Dalam kegelapan dan dilakukan secara diam-diam karena ancaman kafir Qurais mereka menanti kedatangan Rasulullah Saw. Kemudian datang Abbas (yang waktu itu belum masuk Islam) menemani Rasulullah Saw. Dia datang untuk mengawasi dan menjaga keponakannya itu. Sebelum baiat terjadi, Abbas berkata kepada mereka (yang berjumlah 75 orang), “Wahai Kaum Khazraj sebagaimana yang kalian ketahui, sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami (kafir Qurais) yang juga memiliki kesamaan pandangan dengan kami tentang dirinya. Dia dimuliakan kaumnya dan disegani di negerinya. Akan tetapi semuanya dia tolak, kecuali untuk mendatangi kalian dan bergabung dengan kalian. Jika kalian menganggap diri kalian dapat memenuhi segala hal yang dia dakwahkan, maka penuhilah itu dengan sempurna dan jagalah dia dari siapa pun yang menyalahinya . Maka itu semua menjadi tanggung jawab kalian. Jika kalian melihat diri kalian akan melalaikan dan menelantarkannya setelah kalian keluar bersamanya menuju tempat kalian (Hijrah dari Mekkah ke Madinah), maka mulai saat ini tinggalkan dia.”

Mereka sendiri saat itu berkata kepada Rasulullah Saw, “Kami membaiatmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah generasi perang dan pemilik medannya. Kami mewarisinya dengan penuh kebanggaan.”

Abbas kembali bertanya pada mereka, “Wahai kaum Khazraj, apakah kalian menyadari makna membai’at laki-laki ini? Sesungguhnya kalian membaiatnya untuk memerangi manusia baik yang berkulit putih maupun hitam. Jika kalian menyaksikan harta benda kalian habis diterjang musibah, dan tokoh-tokoh kalian mati terbunuh, apakah kalian akan menelantarkannya? Maka mulai sekarang, demi Allah, jika kalian melakukannya, itu adalah kehinaan dunia dan akhirat. Namun, jika kalian melihat bahwa diri kalian akan memenuhinya dengan segala hal yang telah kalian janjikan kepadanya walau harus kehilangan harta dan terbunuhnya para pemuka, maka ambillah dia, dan demi Allah hal itu merupakan kebaikan dunia dan akhirat.”

Kaum Khazraj pun menjawab, “Sesungguhnya kami akan mengambilnya meski dengan resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya para pemuka.” Kemudian mereka berkata pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa bagian kami bila kami memenuhi hal itu?” Rasulullah saat itu menjawab dengan suara tenang, “Surga”.

Seketika itu juga mereka beramai-ramai mengulurkan tanggannya masing-masing lalu menggenggam tangan beliau dan membaiatnya dengan berkata-kata, “Kami membaiat Rasulullah Saw untuk mendengar dan mentaati dalam keadaan sukar, mudah, senang, benci, maupun musibah tengah menimpa kami. Kami tidak akan merampas (kekuasaan) dari pemiliknya serta mengucapkan kebenaran di mana pun kami berada. Kami juga tidak akan takut di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela.”

Berbaliknya Jalan Peperangan

Begitu Rasulullah SAW melihat musuh datang, beliau berjuang semenjak habis subuh hingga waktu dhuha dan tidak mundur barang setapak pun, tapi tetap tegar di hadapan musuh yang sangat besar jumlahnya. Kemudian beliau mencegat mereka di tengah bukit, dan tidak ada seorangpun tentara musuh yang berani maju.

Kemudian Rasulullah SAW mengucapkan doa sembari menengadahkan wajahnya ke langit, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon janji-Mu. Ya Allah, jika saja p[asukan kami yang amat sedikit ini Engkau binasakan, barangkali tidak akan ada lagi yang akan menyembah-Mu di muka bumi ini setelah hari ini.”

Kemudian beliau mengambil segenggam debu tanah lalu melemparkannya sambil berkata, “Hancurlah wajah-wajah (musuh) itu.” Al-Abbas berkata, “Demi Allah, tidak ada seorang pun dari pasukan mush melainkan mata mereka terkena oleh debu tanah (yang dilemparkan oleh Rasulullah SAW) sehingga mata mereka menjadi berair seketika dan susah dipakai untuk melihat.”

Dalam keadaan demikian, Rasulullah SAW mencegat mereka dan menyerang dengan membabi buta. Waktu itulah, pasukan kaum Muslimin yang tadinya berlarian kembali lagi bergabung dengan Rasulullah SAW bersama orang-orang Bani al-Harits yang telah lebih dahulu bergabung dengan beliau.

Setelah sadar dan mengingat isi bai’at itu, pasukan kaum muslim terutama golongan Anshar keluar dari perlindungan. Mereka maju dan terus mendesak ke tengah medan perang sambil menganggap kematian di jalan Allah (syahid) adalah kenikmatan.

Bani al-Harits terus maju dan bertempur, sampai pedang-pedang mereka banyak yang patah. Mereka yang pedangnya patah, mengambil pedang lagi dari tentara kaum Muslimin lainnya yang pedangnya masih utuh. Perang semakin sengit dan membara. Belum sampai waktu dzuhur, musuh sudah berhasil dikalahkan. Mereka diikat dan dibelenggu dengan rantai.

Kali ini Hawazin kalah total. Walau kehilangan banyak anggota pasukan, perang itupun akhirnya dimenangkan kaum Muslimin. Orang-orang Hawazin dan Tsakif akhirnya melarikan diri. Harta dan milik mereka, yang meraka kumpulkan dan dibawa ke medan perang, menjadi Ghanimah bagi pasukan Muslim. Malik bin Auf lolos dalam peperangan ini. Ia mundur bersama orang-orang Hawazin, namun kemudian berbelok ke Ta’if, yang menjadi benteng orang-orang Thaqif.

Ghanimah (Harta Rampasan) Perang Hunain

Ghanimah (harta rampasan perang) Hunain itu jumlahnya terbilang besar. Mereka berlarian dengan meninggalkan 22 ribu unta dan 40 ribu kambing. Rasulullah Saw. seperti biasa dengan sifat dermawan, arif dan kegeniusan sikap politisnya membagikan ghanimah itu. Dalam pembagian itu, Orang-orang muallaf yang dulunya memiliki pemusuhan yang keras terhadap kaum muslimin seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah, Suhail bin Amru dan yang lainnya mendapat bagian yang jauh lebih banyak daripada kaum Anshar.

Ketika itu datanglah Hakim ibn Hizam. Dia adalah tokohnya para tokoh Quraisy yang masuk Islam pada hari penaklukan kota Mekkah. Kualitas keislamannya masih kurang. Ia maju menghampiri Rasulullah SAW yang sedang membagi-bagikan ghanimah, lalu berkata, “Berilah aku ya Rasulullah SAW!” Rasulullah SAW pun memberinya cukup banyak. Tak lama kemudian ia pun meminta lagi kepada beliau, dan Rasulullah SAW memberinya lagi. Dan ketika ia datang lagi untuk yang ketiga kalinya, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu manis dan menarik. Dan sesungguhnya Allah menitipkannya kepada kalian, lalu ia melihat bagaimana kalian memperlakukannya. (HR. Bukhari dalam kitab “Az-Zakat” bab “Al-I’faf’an al Mas’alah”, hadits No. 1472) Hati-hatilah dengan dunia, wahai Hakim. Tangan yang diatas lebih baik dari tangan dibawah. Tangan yang diatas adalah tangan yang memberi dan tangan yang dibawah adalah tangan yang mengambil (menerima).”

Hakim ibn Z berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah SAW, aku tidak akan meminta lagi kepada siapa pun.” Setelah kejadian itu, Hakim hidup secara ‘iffah (menahan diri) dari meminta harta kepada orang lain. Ketika Abu Bakar memberinya bagian dari zakat dan ghanimah, ia menolaknya. ‘Umar juga memberinya, tapi ia menolak, sebab ia telah berjanji kepada Rasulullah SAW untuk menempuh hidup ‘iffah.

Rasulullah SAW juga memberi bagian kepada Abu Sufyan ibn Harb. Ia adalah mantan komandan pasukan kafir Quraisy. Kepadanya Rasulullah SAW memberinya seratus unta, untuk memantapkan dirinya memeluk Islam. Juga kepada ‘Uyainah ibn Hishn al-Fazari al-Ghathfani dan Al-Aqra’ ibn Habis at-Tamimi, yang masing-masingnya mendapatkan seratus ekor unta dari beliau. Sedang al-Abbas ibn Mirdas, pemimpin Bani Salim, mendapat separuh bagian mereka yakni lima puluh unta. Al-Abbas ibn Mirdas pandai bersyair.

Pertanyaan Kaum Anshar terhadap Pembagian Ghanimah

Setelah Perang Hunain Rasulullah SAW membagi-bagikan harta rampasan perang kepada orang-orang Muhaajirin yang ikut dalam perang tersebut, yakni sebanyak seratus ekor unta untuk masing-masingnya. Dan beliau Rasulullah SAW tidak membagikannya kepada orang-orang Anshar. Hal ini membuat sebagian orang-orang Anshar menjadi kecewa, lalu berkata sesama mereka, “Sungguh Rasulullah SAW hanya memberikan (unta-unta itu) kepada orang-orang Quraisy, sedang kepada kami tidak. Padahal, pedang-pedang kami masih berlumuran darah musuh. Semoga Allah mengampuni kekeliruan beliau.”

Kaum Anshar yang belum paham akan hikmah di balik cara pembagian dan pendistribusian ghanimah itu membicarakan apa yang telah dilakukan Rasulullah Saw. tersebut. Sebagian mereka berkata diantara mereka, “Demi Allah, Rasulullah telah berpihak pada kaumnya!” perkataan itu berpengaruh dalam jiwa mereka. Mereka merasa Rasulullah pilih kasih dan tidak adil. Rasulullah dan para mualaf itu memang sama-sama dari suku Quraisy. Bahkan pemimpin Anshar, Sa’ad bin Ubadah berucap sama. Rasulullah yang mendengarnya kemudian bertanya pada Saad, “Dimanakah posisimu dalam hal ini hai Saad?” Saad menjawab, “Wahai Rasulullah, aku bukan siapa-siapa melainkan bagian dari kaumku.” Rasulullah lalu berkata, “Kalau begitu kumpulkan kaummu (kaum Anshar) untukku di tempat penginapan unta!”

Saad kemudian mengumpulkan kaum Anshar, lalu Rasulullah berbicara kepada mereka,

“Wahai masyarakat Anshar, ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian yang saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan kalian hidayah; dan dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian.” Mereka menjawab, ‘Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.” Rasulullah berkata lagi, “Mengapa kalian tidak memenuhiku, hai orang-orang Anshar?” Mereka menjawab, “Dengan apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah? Padahal hanya milik Allah dan Rasul-nya segala keamanan dan keutamaan.”

Kemudian Rasulullah berkata kepada mereka,

“Apa pun demi Allah, seandainya kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan mengatakan dan membenarkan dengan sungguh-sungguh: Engkau datang (hijrah) kepada kami dalam keadaan didustakan (oleh kaum Qurais di Makkah), lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta lalu kami menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar, apakah kalian menemukan pada diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku telah melunakkan suatu kaum agar mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian, aku telah mewakilkan keIslaman kalian. Apakah kalian tidak ridha wahai masyarakat Anshar terhadap orang yang kembali dengan kambing-kambing dan unta-unta, sementara kalian kembali bersama Rasulullah ke tempat kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti aku menjadi salah satu di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka.”

Belum selesai ucapan Rasulullah itu, kaum Anshar menangis sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. Mereka berkata, “Kami ridha dengan Rasul sebagai bagian (kami)”. (Sebagian

Dari peristiwa sejarah di atas tergambar pada kita bagaimana kecintaan para sahabat Anshar terhadap Rasulullah Saw. Mereka lebih mencintai Rasulullah dibanding yang lain. Bahkan ketika diberi pilihan apakah memilih harta rampasan perang yang bejumlah sangat banyak, atau hanya mendapat bagian sekedarnya namun dengan Rasulullah tetap berada diantara mereka, mereka memilih pilihan yang kedua.

“Dengan pertolongan Allah SWT, Rasulullah saw dan para sahabat utama berhasil menghimpun kembali pasukan Muslimin yang tercerai-berai dan balik memukul mundur pasukan kafir. Pasukan kafir satu demi satu berjatuhan di tangan kaum Muslimin. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tidak melihatnya dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang kafir” (QS At-Taubah: 26).

Ibrah Setelah Peperangan

Peristiwa Perang Hunain tersebut seharusnya menjadi pelajaran (ibroh) bagi kita bahwa perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan jumlah pengikutnya saja (kuantitas). Tapi juga harus diikuti dengan kualitas yang baik. Kualitas yang baik hanya dapat diperoleh dengan mempersiapkan atau membentuk kekuatan dalam diri kaum Muslimin.

Kekuatan dimaksud adalah kekuatan akidah (quwatul ‘aqidah), ibadah (quwatul ‘ibadah), dan kekuatan jihad (quwatul jihad). Kekuatan akidah akan menghindarkan seseorang dari perbuatan syirik, takabur, dan merendahkan orang lain. Kekuatan ibadah menunjukkan keikutsertaan Allah SWT dalam setiap langkah perjuangan. Ini berarti pertolongan Allah akan selalu datang, mengiringi aktivitas kaum Muslimin. Sementara, kekuatan jihad akan mendorong kesungguhan (tajjarrud) dan kesinambungan (istimror) dari perjuangan membela kebenaran. Dengan jihad itulah, Allah menjanjikan kemenangan kepada siapa pun yang menjalaninya.

Sumber : disini