Kamis, 19 Agustus 2010

Jihad: Kewajiban yang Hilang


Jihad fi Sabilillah merupakan kewajiban agung yang dicintai oleh hati setiap mukmin, walaupun banyak kesulitannya. Karena jihad akan membimbingnya di dunia dan akhirat. Jihad akan mengeluarkannya dari lembah kekerdilan ke puncak kejayaan, dari kehinaan kepada kemuliaan, dan dari kekalahan kepada kemenangan dengan izin Allah.

Jihad akan membimbing seorang mukmin kelak di akhirat sehingga dia memasuki surga. "Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (QS. Ali Imran: 185)

Dalam sebuah hadits disebutkan:

وَلَا يَجْتَمِعُ عَلَى عَبْدٍ غُبَارٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ

"Tidak akan berkumpul pada seorang hamba; debu pada jalan Allah dan asap jahannam." (HR. Ahmad)

مَنْ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُوَاقَ نَاقَةٍ فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ

"Barangsiapa yang berperang di jalan Allah walaupun hanya sesaat, wajib baginya mendapat surga." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad)

مَنْ اغْبَرَّتْ قَدَمَاهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

"Barangsiapa berdebu kedua kakinya di jalan Allah, maka Allah haramkannya masuk neraka." (HR. Al Bukhari)

Karena itu, para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menangis ketika mereka tidak mampu berparisipasi dalam jihad. Maka, "mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS. At-Taubah: 92)

Itulah kewajiban yang dijauhi oleh kebanyakan kaum muslimin pada zaman kita sekarang ini. Sungguh tepat orang yang menyebutnya sebagai "kewajiban yang hilang".

Kiranya, inilah perbedaan yang mencolok antara kita (generasi akhir umat ini) dengan para sahabat sebagai generasi awalnya. Ini juga yang menjadi kejelasan, kenapa Allah Ta'ala memuliakan mereka dan membiarkan kita dalam kehinaan dan kenistaan di bawah kuasa musuh-musuh Islam. sungguh tepat sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَ أَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِاالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاَّ لاَ يَنْزَعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Jika kamu telah berjual beli dengan sistem “baiiul ‘innah” memegang ekor sapi dan ridlo dengan pekerjaan bertani serta meninggalkan jihad (dijalan Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kamu, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian kembali kepada agamamu.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Silsilah al-Ahadiits ash-Shahiihah, jilid I hal.42 No.11)

Apa yang diberitakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ini sudah terbukti. Umat Islam begitu kikir menyumbangkan jiwa dan hartanya kepada Allah, padahal Allah sudah membelinya dari mereka dengan harga yang mahal, padahal Allah lah sebenarnya pencipta dan pemilik mereka. "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka."

Selanjutnya Allah menunjukkan pasar tempat diselenggarakannya perdagangan yang menguntungkan ini, "mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh."

Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi, sebagai pembeli, memberikan janji dengan penandatanganan perjanjian, "sebagai janji yang benar atas dirinya." Kemudian Dia meletakkan janji-Nya dalam semulia-mulia kitab yang diturunkan kepada para rasul-Nya, "dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an." Lalu Allah meyakinkan kembali para penjual yang akan menyerahkan harta dan jiwanya itu, bahwa Dia tidak pernah berdusta dan ingkar janji, "Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?."

Karenanya, Dia memerintahkan agar bergembira sebelum dilaksanakan perdagangan ini, "Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu." Sebab, sebenarnya dagangan itu betul-betul meraih keuntungan besar, "Dan itulah kemenangan yang besar." (QS. At-Taubah: 111)

Benar ini adalah keuntungan yang besar, si hamba menyerahkan dagangan yang dirinya tidak memiliki dan menguasainya. Si hamba menyerahkannya sebagai harga untuk mendapatkan surga yang seluas langit dan bumi, yang tak seorangpun dapat memasukinya dengan mengandalkan amalnya semata. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya." Para sahabat bertanya, "tidak juga engkau wahai Rasulullah?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "tidak juga aku hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku." (HR. Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya Allah sangat bermurah hati kepada siapa yang menyambut ajakan jual-beli ini, Dia mengembalikan dagangan yang telah dibelinya itu kepada penjualnya dan tetap membayar harga beli yang telah dijanjikan-Nya.

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki." (QS. Ali Imran: 169)

Dalam sebuah hadits disebutkan, "Sesungguhnya arwah para syuhada itu berada dalam tembolok burung hijau yang berkeliaran di surga ke mana dia suka. Kemudian ia hinggap pada lampu-lampu yang bergelantungan di bawah 'Arasy." (HR. Muslim)

Allah mengembalikan ruh-ruh mereka dan mengalirkan rizki kepada mereka sebagai manifestasi dari kemurahan dan kebaikan-Nya kepada siapa yang menerima dan rela melakukan perdagangan ini.

Namun demikian, kaum muslimin di zaman sekarang banyak meninggalkan kewajiban yang agung ini dan tidak menginginkan keuntungan yang besar itu. Kemauan mereka lemah untuk menapak kepada puncak kemuliaan agama ini, padahal "dan puncak kemegahan ajaran Islam adalah jihad."

Maha Benar Allah yang menerangkan dalam firman-Nya:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)

Nafsu benar-benar membencinya, lalu meninggalkannya. Bahkan untuk membicarakannya saja mereka antipati. Semua ini disebabkan karena kebodohan mereka akan hakikat jihad dan kecintaan mereka kepada dunia yang berlebih.

Pembicaraan jihad semakin berat bagi seseorang karena nafsu ikut berbicara, dunia menarik kerah bajunya, syetan menghalangi dan menakut-nakutinya, sifat pengecut mengguncang jiwa dan membelenggu anggota tubuhnya, kesenangan dunia membentang di depannya sebagai tabir penghalang, sedangkan nafsu amat senang jika ada jalan untuk melarikan diri darinya.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ

"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?." (QS. An-Nisa': 77)

Dan datanglah penjelasan yang sangat indah, "Katakanlah: 'Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun'." (QS. An-Nisa': 77)

"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun."

Mari kita tingggalkan dunia dan kesenangannya yang sedikit itu di belakang punggung kita. Mari kita tampil menggapai akhirat yang lebih baik bagi orang bertakwa, dengan mencintai dan merindukan jihad. "sesungguhnya surga itu berada di bawah kilatan pedang." (HR. Bukhari dan Muslim).

sumber : klik

Meninggalkan Jihad = Menjerumuskan Diri dalam Kebinasaan


Bismillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada penutup para nabi dan Rasul, Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman dalam Al Qur'an:

وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

"Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. Al Hadid: 25)

Besi adalah senjata: Pistol, senapan, tank, dan pesawat tempur. Besi adalah kekuatan. Tetapi di sana ada kekuatann yang lebih dahsyat daripada besi, yaitu ilmu dan iman. Kita membutuhkan ilmu untuk mengarahkan jihad.

Sesungguhnya para mujahidin dalam segala kondisi dan keadaannya berada di atas kebaikan. Mereka bersandar kepada kalam Allah dan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kita memiliki asas yang kokoh yang tegak di atas syari'ah.

Allah Ta'ala berfirman:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al-Hadid: 195)

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan jihad. Namun sayang terkadang ada orang yang menjadikan ayat tersebut sebagai dalih untuk meninggalkan jihad dalam menghadapi musuh yang memiliki kekuatan besar, semacam Rusia, Amerika, dan tentara sekutu.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Dari Aslam bin Abi Imran berkata, "Ada seorang dari kaum muhajirin di Kostantinopel menyerang barisan musuh hingga mengoyak-ngoyak mereka, sedang bersama kami ada Abu Ayub al-Anshari. Lalu orang-orang berkata, "Orang itu telah mencampakkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan?" Maka Abu Ayub berkata, "kami lebih mengetahui tentang ayat ini. Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami. Kami telah menjadi sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mengalami beberapa peperangan bersama beliau dan kami membela beliau. Dan ketika Islam telah tersebar dan menang, kami kaum Anshar berkumpul untuk bersuka cita. Lalu kami berucap, 'Sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan menjadi sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan membela beliau sehingga Islam tersebar luas dan pemeluknya semakin banyak. Kita telah mengutamakan beliau atas keluarga, harta, dan anak-anak. Peperangan pun kini telah usai, maka sebaiknya kita kembali kepada keluarga dan anak-anak kita, dan tinggal bersama mereka.' Karena itu, turunlah ayat:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al Baqarah: 195)

Sesungguhnya kebinasaan terletak pada tindakan kami untuk tingal bersama keluarga dan mengurusi harta serta meninggalkan jihad." (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu Humaid dalam tafsirnya, Ibnu Abiu Hatim, Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaih, al Hafidz Abu Ya'la dalam Musnad-Nya, Ibnu Hibban dalam shahihnya, al Hakim dalam Mustadraknya)

Abu Bakar bin Iyasy meriwayatkan dari Abu Ishaq al Suba'I, bahwa ada seorang mengatakan kepada al-Bara' bin 'Azib, "Jika aku menyerang musuh sendirian, lalu mereka membunuhku , apakah aku telah mencampakkan diriku ke dalam kebinasaan?" Al-Bara' menjawab, "tidak karena Allah Ta'ala berfirman kepada Rasul-Nya,

فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا تُكَلَّفُ إِلا نَفْسَكَ

"Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (QS. Al Nisa': 84). Sedangkan ini (QS. Al-Baqarah: 195) berkenaan dengan infaq." (HR. Ibnu Mardawaih, dan al-Hakim dalam Mustadraknya dan berkata, "Shahih sesuai syarat Syaikhain namun keduanya tidak mengeluarkannya.")

Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan, "Ayat ini mengandung perintah berinfak di jalan Allah dalam berbagai segi amal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dan macam-macam ketaatan. Khususnya membelanjakan harta untuk memerangi musuh serta memperkuat kaum muslimin dalam menghadapi musuh-musuhnya. Selain itu, ayat ini juga memberitahukan bahwa meninggalkan semua itu termasuk kehanduran dan kebinasaan, jika dia biasa dan melaziminya.

Syaikh Abdul Rahman bin Nashir al Sa'di berkata, "Jihad fi sabilillah tidak akan tegak kecuali berada di atas infak. Bagi jihad, infak ibarat ruhnya. Jihad tidak mungkin ada tanpanya. Dan meninggalkan infak fi sabilillah berarti memandulkan jihad, mendukung musuh dan memperkuat perlawanan mereka."

Hal ini akan berakibat musuh bisa datang kapan saja untuk membunuh orang Islam. Dan jika kita tidak melakukan upaya apapun pasti musibah ini semakin besar. Dan tidak bangkitnya kita melawan mereka, telah menjerumuskan diri kita ke lembah kehancuran.

Imam Jalaludin al Suyuti berkata, "Sesungguhnya kebinasaan itu dengan meninggalkan jihad dan infak di jalan Allah. Karena hal itu memberikan kemenangan kepada musuh-musuh Islam dan kekuatan untuk menguasai kaum muslimin."

Tidak seorang ulama yang berkata bahwa makna ayat ini adalah kita wajib untuk tidak menempuh jihad sehingga kita tidak menyiksa diri sendiri. Tetapi mereka bersepakat bahwa menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan dalam ayat ini adalah dengan meninggalkan jihad.

Ada alasan lain yang dipaksakan, bahwa mereka meyakini berada pada fase Makkah, kesempatan untuk dakwah, tidak boleh ada jihad di sana. Adapun waktu 13 tahun yang dibutuhkan oleh para sahabat bagi kita membutuhkan waktu lebih panjang.

Syubhat mereka kita jawab, bahwa dari sifat kelompok sesat adalah mendahulukan akal pikiran daripada nash al-Qur'an dan al Sunnah. Maka kita katakan pada mereka, bunyi ayat:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." (QS. Al Maidah: 3) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berbicara tentang fatrah yang kita diharamkan menempuh jalan jihad, tetapi beliau bersabda,

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran dengan terang-terangan hingga hari kiamat." (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ, وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ, مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ

"Barangsiapa meninggal dunia sementara dia belum pernah berperang atau meniatkan diri untuk berperang, maka dia mati di atas satu cabang dari kemunafikan." (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)

Abu Bakar al-Shiddiq setelah naik menjadi khalifah berkata, "Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad fi sabilillah kecuali Allah menimpakan kehinaan atas mereka."

Sabda Rosulullah saw :

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَ أَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِاالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاَّ لاَ يَنْزَعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Jika kamu telah berjual beli dengan sistem “baiiul ‘innah” memegang ekor sapi dan ridlo dengan pekerjaan bertani serta meninggalkan jihad (dijalan Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kamu, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian kembali kepada agamamu.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Silsilah al-Ahadiits ash-Shahiihah, jilid I hal.42 No.11)

Sepanjang sejarah, kehinaan umat Islam pada hari ini-lah yang paling besar. Hal itu tidak diakibatkan karena kuatnya tentara Rusia, Amerika, ataupun sekutu. Tetapi diakibatkan karena umat Islam meninggalkan agama mereka dan orang-orang yang mendalami dien meninggalkan jihad. Dan tak seorangpun layak dicela kecuali kita sendiri, kita telah mendapatkan apa yang harus menimpa kita.

Sufyan Ibnu Uyainah seorang ulama besar dari kalangan tabi'in berkata kepada muridnya, Abdullah bin al Mubarak: "Apabila manusia sudah berselisih tentang apa saja, kebenaran ada pada ahli tsughur (para mujahidun), karena Allah Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. Al-Ankabut : 69)

Sekarang, silahkan memilih anatara kehinaan di dunia dan akhirat serta adzab yang pedih dari Allah; atau ampunan dari segala dosa semenjak tetesan darah pertama, tempat di jannah, diselamatkan dari adzab kubur dan kengerian yang maha dahsyat, mahkota dari permata, 72 bidadari bermata jeli, memberi syafaat untuk 72 anggota keluarga, kehidupan di tembolok burung surga, dan derajat tertinggi di jannah dengan kata lain mendapat syahadah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah, "Jihad menjadi fadlu ain dalam 4 kondisi:

1. Jika Imam mewajibkan orang untuk keluar berjihad.

2. Jika sudah berada di dalam barisan pasukan jihad, maka kabur pada hari peperangan termasuk dosa besar.

3. Apabila orang-orang kafir sudah mengepung dan menduduki bumi kaum muslimin.

4. Apabila seseorang menguasai teknik operasional senjata tertentu dan tak seorangpun selainnya yang mengerti cara menggunakannya. . .

Para ulama juga bersepakat bahwa kaum muslimin tidak boleh meninggalkan jihad lebih dari setahun, walaupun tidak seorangpun berani menyerang mereka.

Semoga Allah menolong kaum mujahidin, memberikan kemenangan untuk mereka, mengadzab kaum kafirin dengan kekuatan dan takdir-Nya. Amiin.

Oleh: Purnomo WD
sumber : voa islam
dan sedikit tambahan dari ana ^_^

NATO Menunggu Ajal di Afghanistan


Situasi perang di Afghanistan akhir-akhir ini tambah runyam bagi pasukan Koalisi yang tergabung dalam NATO. Perkembangan jalannya perang semakin jauh dari ekspektasi dan prediksi para politisi haus kekuasaan dan penjajahan. Para politisi dan penggemar perang di Washington, London, Paris dan negara-negara yang serdadunya ikut menginvasi Afghan mulai pesimis dan harap-harap cemas dengan peluang tentaranya untuk memenangkan Perang Afghan.

Merujuk kembali ke akhir 2001, ketika puluhan ribu pasukan koalisi negara-negara Barat dengan mudahnya merebut Kabul, Mazar-Ie Syarif, Kandahar dan kota-kota lainnya dari tangan pejuang Taliban. Saat itu, di tengah euphoria kemenangan pasukan koalisi yang begitu mudah, sejumlah pengamat militer memberikan prediksi yang hari ini terbukti benar. Analisisnya mudah saja, Pejuang Taliban tentu tidak siap berhadapan secara langsung dalam peperangan terbuka melawan tentara NATO, disamping keterbatasan personil, kekurangan senjata dan amunisi dalam peperangan frontal, juga ketersediaan logistik yang tidak memadai dalam peperangan singkat. Oleh karena itu, Taliban sengaja meninggalkan kota-kota utama Afganistan dan mundur teratur menuju pedalaman, bersiap-siap untuk peperangan panjang ala gerilya..

Pejuang Taliban yang tentu saja tidak punya pasukan reguler untuk mempertahankan kota, meninggalkan kota-kota untuk menghindari korban sipil akibat bombardir brutal dari udara, tetapi tidak semua daerah mereka kosongkan, daerah-daerah yang secara geografis menguntungkan bagi perjuangan mereka pertahankan mati-matian, pertempuran di pegunungan Tora Bora di akhir tahun 2001 memperlihatkan dimana pejuang Taliban di bantu gerilyawan Al-Qaeda berhasil memukul mundur pasukan koalisi yang dibantu oleh pasukan Aliansi Utara. Para analis militer telah memperingatkan, bahwa mundurnya Taliban bukan berarti kekalahan, tetapi lebih merupakan strategi militer brilian dalam menghadapi situasi perang asimetris.


Pejuang Taliban dan Al-Qaeda memilih mengorganisir kekuatan yang lebih baik, merekrut ribuan pejuang baru, disamping menyiapkan senjata dan amunisi yang lebih dari cukup untuk perang berpuluh-puluh tahun.

Pakar militer legendaris dunia, Sun Tzu, dalam bukunya The Art of War menyebutkan bahwa jika peperangan terjadi berlarut-larut maka pihak penyeranglah yang paling dirugikan, moral tentara yang anjlok karena perang tak kunjung dimenangkan. Sementara pihak di posisi bertahan punya lebih banyak waktu mengatur kembali barisan dan organisasi mereka, walaupun mereka lebih inferior dalam persenjataan dan taktik. Strategi inilah yang dipilih Taliban, menjadikan perang berlarut-larut, dengan sesekali melakukan serangan kejutan, meruntuhkan moral tentara musuh. Kecanggihan teknologi yang dimiliki tentara NATO menjadi tidak efektif, karena semua peralatan modern itu dioperasikan oleh tentara-tentara yang semangatnya mulai anjlok - karena mereka tidak tahu pasti alasan mereka berperang dan untuk apa mereka mati di medan Afghan yang ganas.

Berdasarkan hitungan korban pasukan koalisi dari laman independen icasualties.org, tahun –tahun pertama perang korban di pihak pasukan koalisi relatif sedikit dan bisa diterima menilik dari lama dan luas areal peperangan. Tetapi tahun-tahun selanjutnya korban terus meningkat pesat, mencapai total 521 nyawa yang tewas di palagan Afghan pada tahun 2009. Seiring dengan bertambahnya korban tewas, maka kekalahan mulai mendekat, dimulai dari kekalahan politik, ditandai menurunnya dukungan publik dalam negeri untuk perang Afghan, terjadinya perpecahan antar pejabat dan parlemen menyangkut kebijakan strategi perang yang semakin kacau. Disusul anggaran negara yang terkuras untuk membiayai perang, membuat ekonomi mengalami kelesuan, karena uang yang seharusnya dipakai untuk membiayai pembangunan domestik dialokasikan untuk kelangsungan operasi militer di negara yang bahkan tujuan operasi itu belum terasa manfaatnya sama sekali.

Taliban yang pada awal-awal perang tersingkir lambat laun telah kembali ke tengah-tengah rakyat Afghan, merebut satu persatu distrik dan kabupaten, memberlakukan Syariat Islam di wilayah yang dikuasai, serta memenangkan hati dan pikiran penduduk sipil. Kesabaran Taliban dalam menyusun strategi telah mulai membuahkan hasil yang manis.

Taliban- sekali lagi – telah memainkan strategi yang benar-benar brilian dalam menghadapi musuh dengan senjata lebih superior. Mereka, yang tentu saja tahu betul seluk beluk Afghanistan, berhasil memanfaatkan dan mengumpulkan faktor-faktor kemenangan secara simultan.

Sebagai contoh, menurut pengakuan seorang komandan lapangan Taliban, mereka secara cerdik memanfaatkan betul kondisi geografis Afghanistan untuk mencapai target taktis dan strategis. Taliban menggunakan pola serangan dan pertahanan yang begitu variatif tergantung kondisi geografis medan, di Helmand, Kandahar dan Afgan Barat, bom ranjau IED (Improvise Explosive Devices) menjadi senjata pilihan paling efektif karena medan terbuka dan tidak menyediakan tempat perlindungan cukup. Di ibukota Kabul, serangan bom jibaku (istisyhadiyah) jadi pilihan utama, karena begitu banyak target terbuka berupa pos-pos pemeriksaan dan markas pasukan koalisi, dimana banyak berkumpul personel, sehingga hasil serangan bisa maksimal. Di bagian Timur dekat perbatasan Pakistan, provinsi Kunar dan Nuristan, maka bentrok senjata lebih sering terjadi dalam skala besar, karena areanya bergunung-gunung dan hutan yang sangat sesuai untuk perlindungan alami.

Pelan tapi pasti wilayah yang dikuasai Taliban semakin luas, mengurung dan memaksa pasukan NATO tinggal di kota-kota saja, sementara para prajurit yang melakukan patroli harus siap-siap menghadapi resiko terburuk, jadi sasaran IED. Distrik yang menurut NATO diklaim telah dikuasai pun ternyata malah menjadi kuburan baru. Marjah contohnya, menurut NATO mereka berhasil menguasai distrik di provinsi Helmand ini setelah melalui serangkaian pertempuran berat. Nyatanya Taliban tetap memegang kontrol atas wilayah ini.

Di lain pihak, pasukan NATO yang mulai frustasi berat, semakin kehilangan dukungan dari rakyat Afgan, ini terjadi juga karena ulah mereka yang sering menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran pelampiasan, tidak terhitung lagi berapa kali pesawat maupun artileri NATO menghantam sasaran-sasaran sipil, mengakibatkan ribuan korban tak bersalah. Hal ini secara langsung menjadikan dukungan kepada Taliban semakin kuat di tengah legitimasi pemerintahan Hamid Karzai yang begitu lemah. Penduduk Afgan semakin jijik melihat pasukan asing yang tanpa malu melakukan pelanggaran berbagai nilai-nilai Islam yang dalam masyarakat Afghan dihargai begitu tinggi, berkali-kali pasukan NATO melecehkan kitab suci Al-qur’an (dimana pelanggaran seperti itu tidak bisa dimaafkan sama sekali).

Angka tentara koalisi yang mengalami stress dan frustasi terus meningkat, tidak hanya di level prajurit yang saban hari berhadapan dengan maut, juga di level perwira tinggi, lihatlah kasus Jenderal Stanley McChrystal, mungkin akibat frustasi dan perbedaan kebijakan dengan Washington, langsung menumpahkan uneg-uneg kepada publik melalui majalah Rolling Stone. Kalau tentara selevel jenderal saja yang kerjanya hanya duduk di belakang meja sudah begitu frustasi, bisa dibayangkan apa yang terjadi pada level prajurit rendahan yang berada di lapangan dan berjibaku dengan lawan. Tingkat stress yang tinggi akibat perang nampak ditunjukkan oleh tingginya angka bunuh diri prajurit yang baru pulang dari medan perang, meningkatnya angka perceraian di keluarga prajurit, kekerasan dalam rumah tangga, serta angka kejahatan yang dilakukan oleh para prajurit veteran perang.

Pemerintah boneka Karzai di Kabul pun idem dito, semakin kehilangan kepercayaan rakyat Afghanistan karena budaya suap, korupsi dan ketidakmampuan mengefektifkan pemerintahan. Pemerintah Kabul tidak berdaya melindungi rakyatnya yang dibantai pasukan asing, tindakan yang dilakukan hanya sebatas mengecam dan mengecam, tanpa mampu bertindak lebih. Hal ini membuat mayoritas rakyat Afgah memposisikan pasukan NATO – dan juga pemerintahan sendiri- sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas segala kehancuran dan karena itu harus dilawan.

Maka ditengah segala situasi tersebut, NATO menjalankan misi menggantang asap dalam perang Afgan. Satu persatu anggota koalisi mulai ngacir dan lepas tanggung jawab, Belanda contohnya, Pasukan negeri tulip ini kabur setelah terus menerus menerima kekalahan di Provinsi Uruzgan, walaupun dalam pemberitaan media-media mainstream mereka mundur karena keadaan telah pulih, nyatanya mereka mundur karena tidak tahan lagi berperang.

Nampaknya Amerika dan NATO tidak pernah belajar dari sejarah, bahwa tidak ada bangsa yang mampu mengalahkan bangsa Afghan, mulai dari Alexander Yang Agung, Inggris, hingga Soviet yang akhirnya hancur berkeping-keping setelah menerima kekalahan telak dalam perang di tahun 80-an. Beruntunglah Islam yang mempunyai ummat seperti bangsa Afghan yang gagah perkasa, sebuah bangsa yang tidak sudi dijajah oleh siapapun.

Kini, menjejak bulan Agustus 2010, korban tewas pasukan koalisi sudah menembus angka 2000 orang, sudah saatnya pasukan koalisi bernapas dalam-dalam, bersiap-siap menerima kekalahan telak yang akan segera menimpa mereka. Fragmen sejarah baru akan tercatat, dimana kekuatan militer terbesar dunia akhirnya takluk di tangan pejuang-pejuang bersenjata kuno, kekuatan militer terbesar dunia yang akan pulang ke negeri mereka dengan hina dan kepala tertunduk, setelah bangsa Afghan yang gagah menghajar mereka dengan telak. Fragmen sejarah juga akan mencatat, dimana Amerika akan kembali tergelincir, jatuh terjerembab di pegunungan Hindu Kush dan padang pasir Helmand, sebagaimana mereka juga pernah tergelincir dan terjerembab di Tepi Sungai Mekong, Vietnam. INSYAALLAH!! (voi)

Oleh: Shahimi bin Tgk. Ilyas Asyi
*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Unsyiah, Banda Aceh.
sumber : =====>

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nuur : 55)

Senin, 16 Agustus 2010

Bung Tomo : Arsitek Pasukan Bom Syahid

Cita-cita sejati seorang pejuang besar, ingin mendidik anak anak muda bangsa menjadi patriot bangsa. Baginya perjuangan tak memiliki arti, bila tak ada generasi penerus yang memiliki jiwa patriot.

Demikian sedikit dari bagian rencana masa depan seorang patriot bangsa yang lahir di Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920, dengan nama Sutomo dan dikenal oleh bangsa ini sebagai Bung Tomo. Sebagai pejuang memang tak henti-hentinya terus memikirkan nasib bangsa. Bung Tomo khawatir jika tak ada generasi penerus yang berjiwa patriot, maka bangsa Indonesia akan hancur dan tentu akan kembali di jajah dalam bentuk lain.

Jiwa patriot yang tertanam dalam dada Bung Tomo, adalah jiwa patriot yang lahir dari kekuatan iman seorang Muslim. Bung Tomo meyakini bahwa berjuang dengan niat ikhlas membela kemerdekaan serta kedaulatan bangsa atas nama Allah, maka tak ada satu pun kerugian yang ia dapatkan. Untuk itulah, saat pemerintah waktu itu dianggap terlalu lambat dalam menghadapi pergerakan Belanda yang membonceng sekutu, Bung Tomo bersama rakyat melahirkan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), dan sejak 12 Oktober 1945 ia menjadi pucuk pimpinan di BPRI.

Sebagai pejuang yang lahir dari kepanduan, ia telah dibekali pemahaman serta pengajaran agama yang matang. Bung Tomo, memegang teguh prinsip bahwa sebagai seorang pandu dan pejuang bangsa dirinya harus suci dalam perkataan atau pun perbuatan. Bekal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam setiap pergerakan perjuangannya, sehingga pekikan Allahu Akbar yang selalu terdengar dalam menyemangati perlawanan pemuda dan rakyat memiliki kekuatan sangat besar dan tak tertandingi.

Kalimat Allahu Akbar, serta semboyan merdeka atau mati syahid, merupakan semboyan yang sangat akrab diteriakkan melalui corong radio. Saat itu hanya ada dua orang besar yang mampu mengobarkan semangat perlawanan melalui pidato-pidato perjuangan, Bung Tomo dan Soekarno.

Kisah-kisah perjuangan yang sangat menarik banyak lahir dalam setiap kali terjadi aksi pertempuran, dan ini bukti dari pertolongan Allah kepada para tentaranya yang rela mengorbankan jiwa dan hartanya demi menegakkan nilai-nilai kebenaran. Sebagaimana yang dialami Bung Tomo dalam satu perang gerilya, bersama pasukannya saat sudah tak bisa lagi berbuat apa-apa karena pesawat Belanda ketika itu telah mengepung dari atas dan tak ada lagi tempat berlindung. Namun atas kebesaran dan kekuasaan Allah, gumpalan awan menutupi Bung Tomo beserta pasukannya yang berada dalam sasaran tembak pesawat-peswat tempur Belanda.

Inilah yang semakin mengokohkan jiwa perlawanan Bung Tomo. Semangat jihadnya terus meningkat, dan ia tanamkan kepada teman-teman seperjuangannya. Termasuk saat terjadi perisitwa 10 November 1945, Bung Tomo adalah penggerak perlawanan rakyat yang didukung oleh ulama-ulama Surabaya kala itu. Untuk itulah sebagai seorang pejuang besar yang bergerak bersama dengan pekikan Allah Akbar, Bung Tomo menjadi orang yang paling diinginkan Belanda. Bagi yang dapat menangkap atau pun membunuh Bung Tomo, Belanda menjanjikan hadiah besar.

Perjuangan kala itu benar-benar membutuhkan pengorbanan yang besar, dan salah satunya adalah pengorbanan jiwa dengan tulus. Di antara tahun 1945-1949, sebagai bentuk lain perjuangan, Bung Tomo membentuk pasukan berani mati, yakni pasukan bom syahid yang siap mengorbankan jiwanya untuk menghancurkan tentara sekutu dan Belanda yang ingin kembali menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Suasana revolusi saat itu, benar-benar melahirkan banyak jiwa-jiwa patriot. Sehingga Bung Tomo pun sangat terharu ketika seorang pemuda dengan perawakan lusuh dan datang jauh dari Surabaya, sekadar ingin bergabung menjadi pasukan bom syahid yang siap meledakkan dirinya ke arah tank-tank penjajah.

Pasukan bom syahid yang dibentuk oleh Bung Tomo, adalah pasukan terlatih dan benar-benar ditempa keimanannya. Termasuk pemuda yang telah mengesankan Bung Tomo, ia menjadi bom syahid pertama yang menubrukkan dirinya ke tank Belanda. Dan bersama dengan hancurnya tank tersebut, bersamaan itu pula lahir satu syuhada yang menjadi bunga bangsa dan teladan bagi siapa pun yang mengaku sebagai pejuang bangsa dan agama.

Sebagai seorang pejuang yang berjuang bersama buruh, petani, tukang becak dan rakyat jelata lain, Bung Tomo tetap mempertahankan kehidupan bersahaja, dan tak pernah mau menerima dalam bentuk apa pun fasilitas dari pemerintah setelah revolusi kemerdekaan usai. Bung Tomo tetaplah pejuang yang memikirkan rakyatnya, memikirkan bangsanya. Pengabdian terhadap bangsa dan negara tetap ia teruskan, semua demi satu tujuan dan keyakinan bahwa surga akan menanti di hadapannya.

Tanggal 16 Okotober tahun 1981, setelah melaksanakan wukuf di Arafah dalam rangkaian ibadah haji, Bung Tomo yang dilahirkan sebagai pejuang bangsa menutup usianya di tempat suci dan pada hari yang dimuliakan oleh Allah (Oleh Fadli Rachman)

sumber : swaramuslim.net

Merdeka atau Mati syahid dijalanNya itulah prinsip beliau
Dengarkan bagaimana beliau mengobarkan semangad jihad negeri ini ....

Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (QS. An-Nisa : 84)


Mari kita lanjutkan perjuangan beliau AllaaaahuAkbar ......!!!!!!!!!!!

Minggu, 15 Agustus 2010

Harga Mahal Negara Islam


Perjuangan dan jasa tak selamanya berbalas budi. Perjuangan umat menuntut syariat, menuai khianat.

Negara Islam Indonesia (NII), dari namanya terbayang sudah apa yang dipikirkan oleh orang-orang di balik gerakan ini. Sebuah negara dengan syariat Islam sebagai landasan hukum, berdaulat dan berusaha mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Diproklamirkan oleh Sekarmadji mardjan Kartosoewirjo, pejuang kemerdekaan melawan penjajahan.

Titik awal berdirinya NII adalah sebuah cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum Islam yang pada tahun 1945 telah ditelikung oleh kelompok Nasionalis Sekuler. Pada awalnya adalah sebuah perdebatan antara Soekarno dan Kartosoewirjo, dua orang yang pernah berguru pada satu cucuran ilmu, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Soekarno pernah nyantri pada tokoh pendiri Sarekat Islam ini, bahkan pernah menjadi anak mantunya. Sedangkan Kartosoewirjo pernah menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto.

Tapi apa boleh buat, iman ternyata tidak dapat diwariskan. Soekarno menolak dasar negara Islam yang setia diusung oleh kartosoewirjo. Sebaliknya, Kartosoewirjo tak pernah surut langkah mengajukan Islam sebagai dasar negara. Maka perseteruan itu berujung pada proklamasi yang dikumandangkan oleh Kartosoewirjo.

Proklamasi NII tersebut dibacakan empat tahun setelah proklamasi Indonesia. Sebuah babak awal dari perlawanan atas pengkhianatan yang bertubi-tubi diterima. Terbukti, NII adalah gerakan “pemberontakan” terlama yang pernah dialami Indonesia.

Gerakan ini tergolong gerakan perlawanan terluas dan paling rapi yang pernah ada di Indonesia. Beberapa tokoh perjuangan yang pernah dikecewakan segera menjadi bahan bakar baru dalam perkembangan NII. Kahar Muzakkar, yang keinginannya membentuk Resimen Hasanuddin ditolak mentah-mentah. Padahal kiprah lasykar yang dipimpinnya tak terukur besarnya untuk perjuangan di Sulawesi Selatan.

Begitu juga dengan Daud Beureueh yang berkali-kali dikecewakan Soekarno. Syariat Islam yang diidam-idamkan dan sejak awal diperjuangkan, dikhianati dengan keji. Bahkan lebih dari itu, Aceh pun dilebur menjadi bagian dari Sumatera Utara. Walhasil, kekecewaan yang tak tertanggung atas pengkhianatan yang terjadi, membuat gubernur pertama Daerah Istimewa Aceh ini menggabungkan diri menegakkan Negara Islam Indonesia di Sumatera. Begitu juga yang terjadi pada Lentan Satu Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan. Kekecewaan yang berulang-ulang telah membuatnya meleburkan diri dalam perjuangan NII.

Kartosoewirjo memimpin NII selama 13 tahun, sejak tahun 1949 sampai 1962. Pada tahun 1955, ia mengangkat Daud Beureueh sebagai Wakil Presiden dan memasukkan beberapa lagi nama pejuang Aceh dalam kabinet yang disusunnya. Di Aceh sendiri Daud Beureueh memimpin selama sembilan tahun. Selama itu berbagai gejolak dialaminya, termasuk bujukan dari bawahannya untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia. Namun Abu Jihad, demikian Daud Beureueh biasa dipanggil, menolak turun gunung untuk berunding. Ia memilih mengakhiri usianya di atas gunung. Di Sulawesi Selatan sendiri, Abdul Kahar Muzakkar memimpin gerakan selama 13 tahun, sebelum akhirnya peluru panas mengantarnya menemui sang khalik.

Sepanjang periode itu, Soekarno menghadapi para pejuang DI, yang notabene adalah teman-temannya seperjuangan dulu dengan kekuatan senjata. Begitu juga dengan pemerintahan Orde Baru, pemberangusan dilakukan tak tanggung-tanggung. Berbagai fitnah bahkan muncul di masa pemerintahan Orde Baru. Beberapa operasi intelijen dirancang dan mengatasnamakan NII.

Tapi sungguh, gerakan memperjuangkan hakikat kebenaran memang tak pernah sepi dari aral. Tapi juga tak pernah sepi dari para pejuang yang mengharap ridha Allah. Kartosoewirjo dan Ibnu Hajar memang telah dijatuhi hukuman mati. Kahar Muzakkar pun telah pula diekskusi dan Daud Beureueh telah lama tutup mata. Namun perjuangan menegakkan syariat dan meretas jalan menuju kebaikan, selalu menawarkan undangan dan peminat tak pernah sepi untuk datang. Tidak selalu dalam bentuk yang sama. Tapi selalu punya tujuan yang satu. Menuju ridha-Nya.

SM. Kartosoewirjo : Perlawanan dari Malangbong
Sejarah yang dicipta oleh Orde Lama dan Orde Baru telah ber-hasil menciptakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sebagai pemberontak di negeri ini. Sejarah yang ditulis bisa dibilang cukup sukses membangun karakter Kartosoewirjo sebagai duri dalam daging pada tubuh Indonesia.

Siapa Kartosoewirjo sebenarnya? Jauh sebelum ia ditahbis kan sebagai seorang pemberontak, Kar-tosoewirjo adalah tokoh yang mau tidak mau harus kita sebut sebagai the founding father negara Indonesia. Herbert Marcuse, menyebut Kartosoewirjo sebagai seorang manusia yang tidak satu dimensi (one dimensional man). Kehidupan dan perjuangannya penuh perjalanan misterius, bahkan lebih misterius dibanding Tan Malaka.

Kartosoewirjo tidak seperti sosok Soekarno atau Hatta, yang lebih banyak bergelut dengan masalah-masalah teori dan pemikiran. Ia adalah seorang konseptor, tapi juga seorang praktisi. Dia tak hanya menggali pemikiran, tapi juga mengangkat senjata pergi berperang. Satu paduan yang jarang ditemui dalam diri pejuang kemerdekaan. Kartosoewirjo adalah sosok dengan kompleksitas yang tinggi.
Ia bergerilya berbelas tahun melawan penjajah Belanda, Jepang, bahkan pemerintahan Orde Lama. Berpindah dari satu hutan ke hutan lain, sambil terus menyiapkan konstruksi sebuah negara.

Lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907. Dalam tubuhnya memang mengalir darah perlawanan yang tak gampang dipadamkan. Silsilahnya, konon Kartosoewirjo adalah keturunan kesekian dari Aryo Jipang, cucu Raden Patah, sang penakluk Majapahit. Pamannya, Marko Kartodikromo tercatat sebagai seorang tokoh komunis yang dibuang Belanda ke Boven Digul karena perlawanannya.

Dari silsilah itu ia mewarisi jiwa revolusioner yang tak pernah kekurangan bahan bakar. Menginjak dewasa, ia belajar dan menggali Islam dari tokoh-tokoh pergerakan seperti Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Ajengan Ardiwisastra, seorang ulama yang tinggal di Malangbong, Garut. Namun sejak kecil ia telah mengaji pada seorang ulama di tempatnya tinggal. Namun bisa disimpulkan, Kartosoewirjo mengalami pematangan dalam pemikirannya ketika ia bersentuhan dengan gagasan Jamaluddin al-Afghani yang membawa bendera Pan Islamisme.

Memasuki usianya yang ke-20, ia telah menjadi seorang jurnalis di surat kabar Fadjar Asia. Pada periode ini pula ia bersentuhan dengan Soekarno yang sama-sama nyantri pada Tjokroaminoto. Dalam buah pikiran yang ia tulis untuk Fadjar Asia telah tergambar sikap radikal Kartosoewirjo yang menentang priyayi dan melawan Belanda.

Pada masa penjajahan, khususnya ketika Jepang berkuasa, ia lebih memilih perang bergerilya ketimbang mengambil jalan kooperasi. Dikumpulkannya para pemuda dalam sebuah gerakan yang bernama Lembaga Ahli Suffah. Dilatihnya para pemuda itu dengan keterampilan militer di hutan Malangbong, Garut. Kartosoewirjo adalah seorang yang tak pernah setengah-setengah dalam perjuangannya.

Ihwal perlawanan frontalnya melawan pemerintahan Soekarno, sungguh bukan masalah interes pribadi atau keinginan berkuasa. Tapi bermula dari pengkhianatan-pengkhianatan yang bertubi-tubi ia terima. Pengkhianatan paling besar yang ia rasakan adalah penelikungan yang menghasilkan dicoretnya tujuh kata di Piagam Jakarta dihapuskan. Dalam sidang yang berlangsung alot yang ia ikuti pada bulan Juni 1945, Kartosoewirjo dan beberapa tokoh lain mengawal terus gagasan menjadikan negara ini berlandaskan hukum Islam. Namun hanya sehari piagam yang menyatakan dan menjamin pemberlakuan syariat Islam itu berjalan. Sehari kemudian ia harus menerima kenyataan pahit, sebuah pengkhianatan atas perjuangan.

Kekecewaan kedua yang ia alami adalah instruksi Soekarno sebagai panglima tertinggi pada tahun 1948, yang memerintahkan memindahkan ibukota perjuangan dari Jakarta ke Jogjakarta sebagai hasil Perjanjian Renville. Salah satu konsekuensi dari instruksi ini adalah memindahkan pula semua kekuatan TNI, termasuk Divisi Siliwangi ke Jogjakarta. Sikap ini menurut Kartosoewirjo adalah bentuk rasa takluk pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis lagi, penarikan seluruh kekuatan TNI berarti membiarkan daerah lain, termasuk Jawa Barat, menjadi daerah tanpa perlindugan dari negara.

Setelah perjuangan dan pengorbanan para pejuang, keputusan Soekarno ini sungguh lebih terasa sebagai pengkhianatan daripada penyelamatan. Kartosoewirjo dengan lasykar DI/TII tampil ke muka mengamankan dan menjaga Jawa Barat. Dari sinilah lahir sebuah hubungan erat antara rakyat Jawa Barat dan para pejuang DI.

Di saat Jawa Barat seolah diserahkan mentah-mentah pada penjajah atas Perjanjian Renville, Kartosoewirjo, sekali lagi tampil untuk melakukan perlawanan. Karenanya, sangat bisa dipahami jika Kartosoewirjo dalam satu kesempatan mengatakan, “Mulai sekarang, tidak ada lagi hubungan dengan RI.”

Tokoh pejuang ini mengakhiri hidupnya di depan algojo regu tembak yang dikirim oleh negara. Eksekusi itu sekali lagi membuktikan, bahwa perjuangan selalu tak pernah mudah.

Daud Beureueh : Membangun Negara di Atas Gunung
“Wallah, billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu?”

Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh.

Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Tapi ternyata janji tinggal janji, penerapan syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara.

Siapakah Daud Beureueh? Ia adalah cikal bakal semua gerakan kemederkaan Aceh. Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernama Beureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Tengku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh.

Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.

Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di bumi Serambi Makkah.

Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.

Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureueh mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.

Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Kutaraja. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan rakyat Aceh. Daud Beureueh yang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”

Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antara Daud Beureueh dengan Kartosoewiryo.

Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya?

Abdul Kahar Muzakar : Hamba Tuhan yang Jantan
Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya. “Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”

Pada bukunya lain yang berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, ia kembali mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya. Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan.”

Kira-kira begitulah watak dan kepribadian Abdul Kahar Muzakkar. Sebuah pemahaman sekaligus penyerahan diri pada nilai-nilai Islam yang ditunjukkan oleh seorang pejuang.
Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Ponrang, Sulawesi Selatan. Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan. Dan Jawa menjadi tujuannya. Di perguruan Muhammadiyah Solo, ia memintal ilmu agama. Di sini pula ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul Wathon.

Kisah perjuangannya dimulai sejak Jepang memasuki Sulawesi. Tak seperti banyak pemuda, yang menganggap Jepang pembebas dari Timur, Kahar Muzakkar yang menolak menjadi Pak Turut tak mudah percaya. Pembelotan pertama yang ia jalani adalah menentang sikap Kerajaan Luwu yang kooperatif dengan penjajah Jepang. Hukuman pun dijatuhkan, Kahar Muzakkar dituduh menghina kerajaan dan diganjar vonis adat ri paoppangi tana, hukuman yang memaksa ia pergi dari tanah kelahiran.

Pada periode inilah ia terjun total dalam kancah perjuangan kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah toko bernama Toko Luwu yang ia jadikan sebagai markas gerakannya. Kiprah ini pula yang mengantar beberapa muda menemui Kahar Muzakkar suatu malam dan meminta ia membantu pembebasan pemuda-pemuda berjumlah 800 di Nusakambangan. Pembebasan itu terjadi pada Desember 1945, dan 800 orang yang dibebaskan menjadi cikal bakal lasykar yang dibentuknya. Lasykar yang diberinama Komandan Groep Seberang ini pula yang menjadi motor perlawanan secara militer di Sulawesi Selatan.

Tapi, dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan.

Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia. Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.

Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno masih terus dilakukan, dan tercatat sebagai perlawanan terpanjang dalam sejarah TNI di Sulawesi. Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.

Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut. “Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an....”

Tapi sayang, seruan Kahar Muzakkar seperti gaung di dalam sumur. Harap tak bertemu, malah petaka yang dituai. Kahar Muzakkar menjemput ajalnya di tangan tentara Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya. Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri. (Sabili/Oleh Herry Nurdi)

sumber : swaramuslim.net

"Akan Senantiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah." (HR. Muslim)
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.(QS. Al-Baqoroh : 214)

Pengkhianatan Atas Islam


oleh Hussein Umar
Perjalanan panjang bangsa ini merebut kemerdekaan sesungguhnya adalah tapak sejarah perjalanan dakwah. Kekuatan yang tumbuh melakukakn perlawanan terhadap kolonialisme berabad-abad lamanya, bersumber dari wahyu Risalah: Dinul Islam sumber kekuatan utama mayoritas bangsa, dan mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan yang kita raih: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” (Mukaddimah UUD ’45)

Tidak kurang dari tokoh seperti Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah kolonial Belanda menyampaikan sarannya kepada pemerintah kolonial Belanda (Dutch Islamic Policy) dengan tujuan mematahkan perlawanan ummat Islam. Antara lain Snouck Hurgronje menyarankan. “Yang harus ditakuti pemerintah (maksudnya pemerintah Belanda, pen) bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik. Biasanya dipimpin small-minority yang fanatik, yakni ulama yang membaktikan hidupnya terhadap cita-cita Pan Islamisme. Golongan ulama ini lebih berbahaya kalau pengaruhnya meluas kepada petani di desa-desa. Karena itu disarankan supaya pemerintah bertindak netral terhadap Islam sebagai agama dan sebaliknya bertindak tegas terhadap Islam sebagai doktrin politik.”

====================================================================================

Pemerintah Belanda harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama kebudayaan Indonesia Belanda. Ini dapat dimulai dengan memperalat golongan priyayi yang selalu berdekatan dengan pemerintah, karena kebanyakan menjabat sebagai PAMONG PRAIA. Untuk memperlancar usaha tersebut dengan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan barat (lihat. J. Benda: The Crescent and the Rising Sun).

Pemerintah harus membantu menghidupkan golongan pemangku adat. Karena mereka ini akan menentang Islam. Pertentangan ini disebabkan lembaga adat dibentuk oleh tradisi lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Kondisi ini memudahkan pemerintah kerjasama dengan Golongan Pemangku Adat.

Dalam menghadapi Perang Aceh, Snouck menasihatkan supaya dijalankan Operasi Militer ke daerah pedalaman dan “menindak secara keras para ulama-ulama yang berada di kampung-kampung serta jangan diberi kesempatan para ulama menyusun kekuatannya dengan membentuk santrinya sebagai pasukan sukarela”. Terhadap “orang Islam yang awam” pemerintah harus meyakinkan bahwa “pemerintah melindungi agama Islam”. Usaha ini harus dijalankan dengan bantuan dari kepala-kepala adat.

Pemerintah harus selalu memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik. Makin jauh jarak kedua hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam.” Alam pikiran Snouck Hurgronje ini menghunjam dalam menjadi dasar bagi strategi melumpuhkan dan memarginalkan kekuatan Islam yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik anti Islam. Sikap ini terus menerus mereka lakukan sejak awal kemerdekaan (18 Agustus 1945) yakni dicoretnya 7 kata (syariat Islam dari UUD ’45) hingga reaksi keras mereka menolak RUU Sisdiknas (2003) dengan tujuan menggusur pendidikan agama dari sistem pendidikan nasional. Konsistensi sikap mereka ini mengalir sepanjang sejarah dengan satu tujuan, menjegal aspirasi ummat Islam. Tulisan ini berusaha menelusuri kembali sebagian dari hal tersebut.

Ketika para pendiri Republik ini berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama.

Selanjutnya tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Hendaknya disadari oleh setiap muslim bahwa Republik yang lahir itu adalah sebuah negara yang “berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari ‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Subhanallah, Allahu Akbar!

Namun keesokan harinya tanggal 18 Agustus rangkaian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, itu dihapus, diganti dengan kalimat: yang maha esa. Inilah awal malapetaka. Inilah awal pengkhianatan terhadap Islam dan ummat Islam. Tentang hal ini berbagai peristiwa dan wacana terjadi mendahului sebelum apa yang kemudian dikenal dengan “tujuh kata” itu dihapus. Terkait di dalamnya antara lain tokoh-tokoh seperti Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Qahhar Muzakkir, Kasman Singodimejo, Teuku Moh. Hasan, Soekarno. Meskipun usianya hanya sehari, republik yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Republik yang berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Syariat Islam melekat dalam konstitusinya walaupun hanya sehari! Hal ini tertanam di lubuk hati yang paling dalam bagi setiap aktivis dakwah. Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”

Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagus. Dalam pandangan Ki Bagus hanya Islam-lah agama tauhid. Dalam biografinya Teuku Moh. Hasan pun menulis tentang makna Yang Maha Esa ini sebagai Tauhid.

Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada 1957-1959 (hingga Dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.

Tentang hilangnya tujuh kata ini Mr. Moh Roem mengutip ungkapan dalam bahasa Belanda: Menangisi susu yang sudah tumpah !?

Sedang M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”

Sesudah Proklamasi kita memasuki (1945-1950) masa kemerdekaan, pasca revolusi, PDRI, penyerahan kedaulatan selanjutnya terbentuknya NKRI melalui mosi integral Mohd. Natsir pada 1950. Selanjutnya kita menerapkan demokrasi parlementer diselingi Pemilu I pada tahun 1955 di bawah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), pemilu yang dinilai paling bersih dan paling demokratis.

Sementara itu di luar Jawa di Aceh yang dijuluki “daerah modal” merasa tidak memperoleh keadilan. Lebih dari itu merasa dikhianati oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia.

Ketika Bung Karno berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Mohammad Daud Beureueh. Kepada Abu Beureueh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk menegakkan Islam dan memberlakukan syariat Islam. Namun kenyataannya, Bung Karno mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama pemberontakan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Tgk. Mohammad Daud Beureueh menelan waktu bertahun-tahun dan menorehkan luka yang dalam di hati rakyat Aceh.

Dalam sidang Konstituante (1957-1959). Baik dalam Panitia Persiapan Konstitusi maupun dalam perdebatan tentang Dasar Negara kalangan Kristen dengan gigih menolak Islam dijadikan dasar ideologi negara, didukung oleh kekuatan nasionalis, sekuler, sosialis, Partai Komunis Indonesia dan lain-lain. Indonesia sesungguhnya merupakan ajang pertarungan ideologi.

Dalam Sidang IV MPRS 1966. Golongan Kristen dengan tegas menolak penafsiran Ketetapan No. XX/MPRS/1966 sebagai ketetapan yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu identik dengan Pembukaan, maka merupakan bagian dari UUD dan berkekuatan hukum. Menurut mereka Piagam Jakarta hanya ditempatkan dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, bukan dalam diktum atau keputusan Dekrit itu. Jadi (menurut mereka) Piagam Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.

Dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Sebelum sidang dimulai ke dalam Badan Pekerja MPRS dimasukkan suatu usul tertulis yang antara lain mengajukan agar kewajiban melakukan ibadat diwajibkan bagi setiap pemeluk agama dan agama resmi adalah agama Islam. Presiden dan Wakil Presiden harus beragama Islam. Usul ini dengan gigih ditolak terutama oleh kalangan Kristen (Surat kabar Suluh Marhaen, 3 Maret 1967).

Dalam Sidang V MPRS 1968. Golongan Kristen dibantu oleh golongan nasionalis atau non Muslim lainnya menolak rumusan Pembukaan dari Rancangan GBHN yang berisi: “Isi tujuan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dituangkan dalam UUD 1945 yang terdiri dari batang tubuh dilandasi oleh Pancasila serta dijiwai oleh Piagam Jakarta.” Mereka menolak rumusan tersebut dengan beralasan bahwa kata “dijiwai” menimbulkan arti seolah-olah Piagam Jakarta adalah jiwa sedangkan UUD 1945 itu tubuhnya. “Secara objektif perkataan ‘menjiwai’ dalam Dekrit itu harus diartikan sebagian besar dari Piagam Jakarta - kecuali tujuh kata - dimasukkan dalam Pembukaan yang diterima pada tanggal 18-8-1945, dan Pembukaan itu adalah jiwa UUD 1945. Tidak ada jiwa yang lain. Kalau dikatakan oleh sementara pihak, bahwa Piagam Jakarta ‘menjiwai’ UUD dan bukan Pembukaan yang menjiwainya, itu dapat menimbulkan arti, bahwa justru tujuh kata yang telah dicoret itulah yang ‘menjiwai’ UUD ’45. Jadi hal itu haras ditolak.” Demikian antara lain alasan-alasan kalangan Kristen/Katolik.

Sesudah kembali ke UUD ’45 melalui Dekrit 5 Juli ’59 Bung Karno menindaklanjuti dengan langkah-langkah politik; Membubarkan Konstituante, membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur pembentukan kabinet. Lalu terbentuklah Kabinet Gotong Royong dan melibatkan PKI dalam Kabinet. Kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) disusul berbagai langkah politik yang repressif. Berakhirlah peran DPR pilihan rakyat (Pemilu 1955) dan berakhir pula demokrasi parlementer. Bung Karno berubah dari seorang demokrat menjadi diktatur. Pancasila diperas menjadi Tri Sila, dari Tri Sila diperas menjadi Eka Sila: Gotong Royong dan Poros Nasakom. Lalu digelorakanlah jargon: Nasakom jiwaku, hancurkan kepala batu!

Terjadilah proses Nasakomisasi di seluruh bidang di bawah Panji-panji Revolusi “yang belum selesai”. PKI mendapatkan ruang bergerak yang sangat terbuka untuk memainkan peran menentukan di panggung politik nasional. Situasi ini baru berakhir dengan terjadinya Peristiwa 30 September 1965 dengan segala akibat-akibatnya.

Jika di masa 1959-1965 Orde Lama Soekarno memaksakan Nasakom, Demokrasi Terpimpin, Paradigma Revolusi, U.U. Subversi, dll, sebaliknya Soeharto meneruskan dengan kemasan baru: Demokrasi Pancasila, P4, Asas Tunggal, PMP, Aliran Kepercayaan, memperkokoh Dwifungsi ABRI (militerisasi di segala bidang kehidupan) plus U.U. Subversi, selama 32 tahun pemerintahannya. Empat pilar Orde Baru : ABRI, Golkar, Birokrasi (Korpri), Konglomerat, menopang pemerintahannya yang repressif. Pemilu yang penuh rekayasa melanggengkan kekuasaannya.

Umat Islam dimarginalkan melalui tahapan: de-ideologisasi (pemaksaan asas tunggal Pancasila); de-politisasi (konsep massa mengambang/floating mass); sekularisasi (antara lain berbagai kebijakan dan konsep RUU yang sangat mengabaikan agama); akhirnya bermuara pada: de-Islamisasi.

Sosok Ali Murtopo, Sudjono Humardani, Bakin pada 1970-an memainkan peran utama di panggung pertarungan politik nasional. Bersaing dengan perwira-perwira tinggi lainnya Ali Murtopo menjadi “bintang” di dukung oleh institusi strategis sebagai think-tank yakni CSIS yang pada masa itu di dominasi oleh intelektual Katolik dari ordo Jesuit yang sangat anti Islam.

Berbagai jebakan sebagai bagian dari skenario (operasi-operasi) intelijen digelar untuk kemudiannya mereka yang dilibatkan dikorbankan. Komando Jihad, Woyla, Cicendo, Lampung, Haur Koneng, Tanjung Priok dan lain-lain tidak terlepas dari rekayasa intelijen. Beberapa tokoh ex D.I. (Darul Islam) Jawa Barat dirangkul dan diberi berbagai fasilitas. Ada yang diberi pom bensin, perkebunan teh, ada yang diangkat sebagai deputi kerohanian Bakin. Namun sesudah itu satu persatu diringkus dijebloskan kedalam penjara dengan berbagai tuduhan. Semua tuduhan itu fitnah. Kalangan intelijen mempunyai permanent issue antara lain: ekstrim kanan. Untuk menunjukkan kebenaran adanya kelompok ekstrim kanan, direkayasa berbagai peristiwa. Padahal semua itu bagaikan “hujan buatan” (rekayasa intelijen).

Di akhir periode pemerintahannya ada indikasi Soeharto ingin memperbaiki hubungan dengan ummat Islam dimulai dari berdirinya ICMI pada 1990, U.U. Peradilan Agama, U.U. Sistem Pendidikan Nasional (1989), Bank Muamalat dan kebijakan politik lainnya.

Namun prahara Krisis moneter menjadi awal malapetaka, berkembang menjadi krisis ekonomi, menyusul krisis politik dan berakhir dengan krisis kepemimpinan nasional. Akhirnya tekanan dahsyat demonstrasi mahasiswa yang menginginkan reformasi menumbangkan pemerintahan Soeharto sebagaimana tumbangnya pemerintahan Soekarno. Selanjutnya berturut-turut tampil Habibie, Gus Dur dan Megawati.

Dari perjalanan panjang bangsa ini mampukah kita mengambil hikmah dari sejarah? Menempatkan Islam dan Ummat Islam dalam posisi yang bermartabat? Ataukah kita akan terperosok di lubang yang sama berkali-kali?

Wahai umat islam ..........
janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, (QS. Al-Qalam : 8-11)
Mereka merobohkan dien ini dengan jiwa dan raga mereka
dan hari ini mereka telah merencakan makar intelejen kembali dengan war on terorism untuk apa? untuk menghapuskan islam yang benar dari tanah air ini ....
bangkitlah .........
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al-Anfaal : 60)
Persiapkanlah dirimu wahai kaum muslimin untuk merobohkan benteng-benteng kedzaliman yang telah di tancapkan dalam dada kaum muslimin .......
Kalau kamu melakukan perdagangan dengan riba, hanya menjadi peternak-peternak dan senang hanya dengan bertani saja dan meninggalkan jihad (perjuangan) maka Allah akan menimpakan kehinaan atasmu. Kamu tidak dapat mencabut kehinaan itu sehingga kamu kembali kepada Ad Dienmu. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Mari kita persiapkan diri kita untuk menghadapi badai fitnah dalam memperjuangkan dien ini semoga Allah menjadikan kita orang yang berdiri tegak diatas nash Al-qur'an dan sunnah dalam menegakkanNya amiin .............