Ada beberapa titik kesamaan antara Aljazair dan Indonesia. Umat Islam
harus waspada.
Aljazair. Nama itu, pernah membuat bulu kuduk yang mendengarnya berdiri. Rantai konflik berdarah yang menewaskan ribuan penduduk sipil menghiasi perjalanan negeri syuhada itu sepanjang delapan tahun terakhir. Cerita seram tentang pembantaian ratusan ulama di Banyuwangi,tak lebih seujung kuku, dibanding kebiadaban yang berlangsung di Aljazair. Di Aljazair, satu aksi pembantaian bisa menewaskan ratusan
orang.
Bulan puasa kemarin, Aljazair digemparkan dengan ditemukannya sebuah sumur berisi lebih dari seratus mayat. Sumur tersebut terletak di sebuah lokasi yang dinamakan _segitiga kematian_, 50 km selatan Aljier. Hingga kini, jumlah korban yang tewas masih belum menentu. FIS mengklaim, angka korban pembantaian sejak 1992, lebih dari 100 ribu orang. Jumlah itu, diperkirakan masih terus bertambah.
Kronologi konflik berdarah di Aljazair berawal setelah pemilu 1991. Kelompok sekuler terkejut, Partai Islam FIS (Islamic Salvation Front) secara gemilang membukukan kemenangan telak atas partai FLN (National Liberation Front). FIS sukses menyabet 188 kursi (82%), dari 231 kursi. Rezim otoriter bentukan FLN yang selama puluhan tahun sebelumnya berkuasa, ternyata jeblok dalam pemilu, dengan hasil 15
kursi.
Dianulirnya hasil pemilu pada penghujung 1991, diulang kembali beberapa bulan berikutnya. Junta militer pemerintah, boleh jadi berharap, pengulangan pemilu itu akan merubah komposisi FIS yang meraih suara terbanyak. Toh, keinginan itu tak terwujud. Lagi-lagi, FIS menang mutlak, dan hasil suara yang mendukung partai pemerintah tetap tak beranjak naik. Di sinilah berbagai upaya menjegal kemenangan Islam dilakukan. Pemilu yang diharapkan berlangsung jurdil dan mampu mengawali
gerbang reformasi politik total di Aljazair, menjadi awal petaka bagi rakyat Aljazair.
Rezim pemerintah, didukung Perancis dan konspirasi global Barat, menggelar skenario berdarah di Aljazair. FIS dituduh sebagai kelompok fundamentalis Islam, yang menjadi momok bagi supremasi Barat. Tak kurang 5000 orang tewas terbunuh di tangan junta militer pro pemerintah. FIS, yang nyata-nyata menang mutlak dalam dua kali pemilu paling demokratis itu, malah dinyatakan sebagai partai terlarang dan tidak boleh terlibat di pentas politik. Puluhan ribu aktivisnya menjadi buron, sebagian ditangkap. Sejumlah tokoh penting FIS, di penjara, dan ribuan orang pengikutnya tewas di tangan junta militer pro pemerintah. FIS mencatatkan diri sebagai pemenang tanpa cacat dalam pertandingan yang dihentikan secara tidak terhormat oleh mereka yang menamakan diri sebagai penyelamat demokrasi. Sejak itulah, bumi Islam Aljazair terendam darah akibat pembantaian atas warga sipil yang berkepanjangan. Ekonominya lumpuh, dan situasi politik makin tak menentu. Tragis.
Penggagalan pemilu di Aljazair, jelas didasari kekhawatiran munculnya kekuatan Islam baru di pentas politik. Seiring kemunculan benih kebangkitan Islam di pelbagai tempat, khususnya Afghanistan, geliat Islam di Aljazair membentuk kekhawatiran tersendiri bagi Barat.
Apalagi, saat itu fenomena kebangkitan Islam juga terjadi di berbagai belahan dunia. HAMAS di Palestina, berhasil menggoyang keangkuhan tentara Zionis dengan aksi intifadhahnya. Di Yordania, Ikhwanul Muslimin mulai eksis dengan strategi partainya. Di Pakistan gerakan Islam turut mewarnai berbagai kebijakan politik pemerintah, terutama di masa pemerintahan Zia Ul-Haq. Sementara, di Moro, Patani, Tunisia, Kashmir, Syiria, dan sejumlah tempat lainnya, memunculkan fenomena serupa.
Mungkinkah skenario Aljazair yang mengerikan ini terjadi di Indonesia? Wakil MPP Partai Keadilan, Abu Ridho, tidak yakin biladengan kemungkinan itu. Pasalnya, ada sejumlah perbedaan karakter dan situasi politik yang membedakan antara Aljazair dan Indonesia. Abu Ridho memandang tradisi kekerasan di Indonesia belum separah Aljazair. _Orang Islamnya wajar-wajar saja, walaupun dianiaya, masih dapat menahan diri,_ katanya. _Saya tidak tahu apakah karena sudah lelah 32 tahun, ditambah
zaman ORLA yang melelahkan itu. Sehingga saya lihat tradisi perlawanannya agak letih,_ tambah Abu Ridho.
Berbeda dengan pandangan Kordinator kontras Munir SH. Munir memandang kemungkinan tragedi Aljazair bisa terulang di Indonesia. Ada tiga titik kesamaan, menurut Munir. Pertama, proses radikalisasi kelompok masyarakat berdasarkan keagamaan. Kedua, ada upaya menyeret masyarakat ke dalam kubu yang jelas. Dan ketiga, ketidakmampuan sistem utuk menopang pertikaian yang berlangsung. _Analisis apa yang pernah
terjadi di Aljazair. Lima bulan sebelum Aljazair pemilu, terjadi radikalisasi kelompok masyarakat. Islam diradikalisasi. Islam muncul kuat. Begitu menang, mereka dituding sebagai pemicu semua kerusuhan,_ ujar Munir.
Radikalisasi yang dimaksud Munir, terkait sejumlah tragedi
berdarah di tanah air yang dialami umat Islam. Dari kasus pembantaian kyai di Banyuwangi, kerusuhan di Kupang, lalu Ambon, yang kini meluas ke kepulauan Maluku. Umat Islam digiring pada konflik ideologis yang sangat sensitif. Dan parahnya, kasus-kasus itu, hingga saat ini belum dapat diselesaikan tuntas oleh aparat pemerintah.
Anggapan Abu Ridho soal perbedaan karakter penduduk dan kondisi politik antara Indonesia dan Aljazair, mungkin benar. Meski pada dasarnya sebuah aksi kekerasan, bila dilakukan terus menerus, pasti menggenjot munculnya radikalisme. Tekanan dan kekerasan yang diarahkan pada satu pihak, akan melahirkan kekuatan baru untuk menangkal dan melawan. Sosiolog Imam Prasojo mengatakan, "Banyak radikalisasi terjadi karena suasana represif yang diterima. Seperti di Palestina misalnya,
Kenapa orang Palestina jadi radikal? Pakai bom manusia segala. Itu adalah kondisi orang yang tertindas. Itu harus dipahami,_ kata dosen sosiologi UI ini.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, kondisi yang melatarbelakangi sikap keras FIS, akibat tekanan yang dilakukan secara bertubi-tubi. _FIS itu tidak keras, hanya karena ditekan terus menerus mereka jadi seperti itu._ Selanjutnya Yusril menjelaskan, _Kalau PBB dilihat sebagai suatu fenomena demokrasi, tentu tidak jadi keras. Tapi bila dizolimi bisa keluar kerasnya. Partai nasionalis apapun kalau ditindas, akan menjadi keras, sama saja, _
tandas Yusril.
Teori radikalisasi, boleh jadi digunakan untuk membenturkan kekuatan Islam dengan kekuatan lain. Dalam kasus Indonesia, berbagai tekanan yang memunculkan sikap radikal umat Islam, bisa saja menggiring negara berada pada suasana chaos. Beragam konflik dan kerusuhan meledak di berbagai tempat. Otomatis, hanya ada dua kemungkinan bagi pemilu. Berlangsung dalam kondisi cacat karena kerusuhan di sana-sini, yang kemungkinan besar hasilnya dianulir, atau tidak berlangsung sama sekali.
Ketua KISDI Ahmad Sumargono SE, menengarai, umat Islam bakal menjalani nasib yang sama dengan Aljazair, bila hasil pemilu membukukan kemenangan mutlak partai Islam. _Saya melihat kalau kita menang mutlak seperti di Aljazair, nasib kita akan sama._
Sinyalemen Sumargono didukung oleh DR. Rifyal Ka_bah MA. Staf pengajar fakultas hukum YARSI ini yakin adanya sebuah skenario, meski tidak dapat memastikan skenario apa yang akan diterapkan. _Yang jelas, ada skenario yang digunakan, bila partai Islam menang, atau pejuang Islam menang._ Rifyal yang mengambil spesialisasi hukum Islam di Pasca Sarjana S3 UI, mengangkat contoh Aljazair. _Kalau Barat pro demokrasi, seharusnya ia dukung FIS. Tapi karena FIS bukan berasal dari mereka,
sehingga tidak didukung,_ kata Rifyal.
Tragedi Aljazair memang tak dapat dilepaskan dari tangan-tangan kotor kekuatan kufur (baca: Barat) yang menggunakan kelompok-kelompok tertentu untuk melibas Islam. Dalam kasus Aljazair, rezim militer otoriter yang menjadi ujung tombaknya. Kekuatan Islam Aljazair dibenturkan dengan kekuatan militer pemerintah yang memperoleh dukungan
AS, melalui Perancis, eks penjajah Aljazair. Di sini, teori konspirasi global menjegal kebangkitan Islam terbukti.
Meski target operasinya sama, yakni melibas Islam, menurut Muhammad Nur MA, Dosen FISIP Universitas Nasional, ada perbedaan antara kondisi Turki, Aljazair dan Indonesia. Di Turki dan Aljazair, yang menjadi alat melibas Islam adalah militer. Sementara di Indonesia, kelompok sekuler yang lebih mungkin memainkan peran. _Cara mereka untuk Indonesia agak lain, tidak dengan militer, tapi menggunakan
kekuatan-kekuatan lain, seperti kelompok sekuler,_ kata Muhammad Nur.
Rifyal Ka_bah memandang lebih jauh. Belajar dari kasus Aljazair dan Turki, kelompok sekuler biasanya lebih mendapat dukungan militer.
_Arbakan yang didukung kelompok Islam di Turki, tak bisa tahan kecuali enam bulan saja. Jadi militer itu loyalnya pada sekularisme, Di Aljazair juga begitu._ Dari sini, Rifyal menyimpulkan tidak menutup kemungkinan bila unsur militer juga digunakan untuk di Indonesia.
Kerjasama militer dan sekuler di Aljazair dan Turki, menguatkan analisa Rifyal. Di Aljazair, sasaran pembantaian selama ini, adalah lokasi yang menjadi basis FIS. Sejumlah indikasi membuktikan kekejaman itu dilakukan sendiri oleh rezim dukungan militer yang menyusup ke
barisan kelompok Islam bersenjata (GIA). FIS di Aljazair, memiliki kemiripan dengan kasus yang menimpa partai Refah di Turki. Meski menang mutlak, FIS tidak pernah berkuasa karena pemilunya dianulir oleh militer. FIS dibubarkan, dan dilarang terlibat dalam pentas politik. Refah lebih beruntung karena sempat menobatkan presidennya, Najmuddin Arbakan, sebagai PM Turki. Tapi itupun tidak lama, hanya enam bulan. Langkah Refah kemudian dijegal, juga oleh militer. Sebagaimana FIS, Refah dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Pemimpinnya, Najmuddin Arbakan, dilarang terlibat dalam aktivitas politik.
Kesimpulannya, bayang-bayang penggagalan pemilu 1999 itu memang ada. Skenario apapun yang akan dilakukan, berbagai pengalaman sejarah harus menjadi pelajaran. Kasus Aljazair, Turki, dan perjuangan Islam Indonesia di masa lalu, tidak boleh terulang lagi. Rasulullah saw berpesan, _Seorang muslim, pantang terjerumus dua kali dalam lubang yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar