Kamis, 15 Juli 2010

2 Pengkhianatan terhadap Kaum Muslimin

PENYELEWENGAN TEKS PROKLAMASI

Pada 16 Agustus 1945 petang hari, Soekarno dan Hatta dijemput oleh Ahmad Soebardjo, seorang kepercayaan Jepang, dan setelah Ahmad Soebardjo memberikan jaminan kepada para pemuda PETA di Rengasdengklok, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan besok, 17 Agustus 1945, barulah para pemuda itu melepaskan BK dan Bung Hatta kembali ke Jakarta. Di Jakarta mereka membicarakan sekitar Proklamasi di rumah Laksamana Muda Maeda, jalan Imam Bonjol No.1 sampai pukul tiga dini hari. Terjadilah dialog menarik antara BK dengan Soebardjo, seperti diceritakan dalam buku Lahirnya Republik Indonesia:

Masih ingatkah saudara, teks dan bab Pembukaan Undang-undang Dasar kita?

“Soekarno tanya kepada saya”, kata Soebardjo.

“Ya saya ingat”, saya menjawab, “Tetapi tidak lengkap seluruhnya”.

“Tidak mengapa”, Soekarno bilang, “Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukan seluruh Teksnya.”

Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai dengan apa yang saya ucapkan sebagai berikut: “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan.”
Di samping itu, Soebardjo mengakui pula: "Suatu kenyataan bahwa teks dari Proklamasi telah dirumuskan dalam apa yang dinamakan Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945. Rumusan ini hasil dari pertimbangan pertimbangan mengenai kata pembukaan atau Bab Pengantar dan undang-undang dasar kita oleh sembilan komite di mana Soekarno sendiri adalah ketuanya” (Mr.Ahmad Subardjo, Lahirnya Republik Indonesia, hlm. 108, PT Kinta, Jakarta 1972). Soebardjo kemudian menjadi Menlu RI yang pertama.

Dalam versi lain, Hatta berkomentar seperti ini,… Kalimat itu hanya menyatakan kemauan Bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebab itu, mesti ada komplemennya yang menyatakan bagaimana caranya menyelenggarakan Revolusi Nasional. Lalu, menurut Hatta, ia diktekan kalimat berikut: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkatsingkatnya.” (Mohammad Hatta, sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 hlm. 50, Tinta Mas, Jakarta 1969).



Proklamasi Kemerdekaan itu diumumkan di rumah BK, Pegangsaan Timur No.56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jumat bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.

Teks Proklamasi kemerdekaan RI yang di-kumandangkan setiap 17 Agustus, adalah teks yang tidak sah dan tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang di putuskan oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945.

Mengapa Proklamasi yang demikian penting dianggap remeh seolah-olah tanpa persiapan yang matang, dibuat terburu-buru pada malam hari, ditulis dengan tulisan tangan di atas secarik kertas disertai coret-coretan padahal beberapa jam lagi Prokla-masi akan diucapkan? Ironisnya, teks proklamasi "bid’ah", yang mengada-ada itu, dibuat di rumah seorang perwira Jepang, Laksamana Muda Maeda.

Mestinya Soekarno, Hatta dan Subardjo dimalam itu tidak perlu membicarakan teks proklamasi, teks yang sebenarnya telah selesai dipersiapkan oleh BPUPKI dua bulan sebelumnya. Malam itu cukup mereka membicarakan masalah teknis pelaksanaan, tempat, jam berapa akan diucapkan, siapa yang akan mengucapkan dan siapa-siapa yang akan diundang. Adapun teks Proklamasi tidak perlu dibicarakan lagi, sebab sudah ada dan sudah final, tidak perlu diubah-ubah lagi.

Teks Proklamasi Yang Asli

Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 juni 1945 itu sesuai dengan lafal atau teks Piagam Jakarta. Jelasnya teks Proklamasi itu haruslah berbunyi:

PROKLAMASI

Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dan di dorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini Rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Republik Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan pedamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Jakarta,22 Juni 1945

Ir. Soekarno
Drs. Muhammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Cokrosuyoso
Abdul Kahar Muzakir
H. Agus Salim
Mr. Ahmad Subardjo
K.H. Wahid Hasjim
Mr. Muh Yamin


Demikian teks Proklamasi Asli yang harus di-kumandangkan bergema dan mengudara setiap Proklamasi di kumandangkan pada tanggal 17 Agustus. Tetapi hal itu tidak terjadi karena penyelewengan dan penghianatan sejarah.





PPKI MENCORET PIAGAM JAKARTA

Seharusnya Bangsa Indonesia termasuk para pemimpinnya, bersyukur kepada Allah atas terlepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajah yang lebih 300 tahun lamanya itu. Karena kemerdekaan itu didapat hanya atas keringat perjuangan Bangsa Indonesia, dan atas pertolongan dan Rahmat Allah. Secara logika mana mungkin tentara sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II dapat dilawan dengan senjata bambu runcing ? Pantaslah kita bersyukur dan bersujud kepadaNya.

Tetapi apa yang terjadi ? Sehari setelah Proklamasi dibaca, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dengan berbuat dosa besar kepada Allah, dan bersalah kepada Bangsa Indonesia, khususnya Umat Islam, yakni dengan mencoret kalimat Piagam Jakarta yang vital dan sakral di antara isi piagam tersebut. Mereka mencoret kalimat yang berbunyi:

“…….. dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk pe-meluknya." (Pengkhianatan kedua).

Mereka telah memperlihatkan belangnya sebagai nasionalis sekuler dan kolaborator penjajah yang anti Islam, yang membawa masyarakat dan negara kearah yang dimurkai Allah, yaitu deislamisasi. Jelaslah kaum nasionalis sekuler tidak tahu arti bersyukur dan tidak tahu arti syukur nikmat kemerdekaan. PPKI jelas telah menyimpang dari wewenang tugasnya yaitu mensyahkan UUD yang telah rampung, dibuat oleh BPUPKI, kemudian memilih Presiden dan wakil Presiden. Jadi bukan mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang telah di tanda tangani 56 hari sebelumnya oleh sembilan orang tokoh terkemuka dari berbagai macam aliran dan golongan. Pencoretan ini jelas tidak sah dan merupakan penghianatan terbesar sesudah Proklamasi kemerdekaan! Ya, dimana ada pemimpin, ada pula pengkhianat yang munafik.

Untuk mengenang peristiwa yang menyedihkan itu anggota BPUPKI dan penandatangan no.5 diantara penandatangan yang sembilan orang itu, yaitu Pof Kahar Muzakir, dalam pidatonya pada Sidang Kon-stituante di Bandung tahun 1957, mengutarakan kekecewaan hatinya seperti ini: “Apa lacur 18 Agustus!” Selanjutnya beliau berkata antara lain: “Yang menghianati Piagam bukan kami, tetapi kaum nasionalis !”

Maaf barangkali mereka belum puas sebelum mengkafirkan negara dan Bangsa Indonesia. Laksana Kemal Attaturk mensekulerkan Turki.
Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa kemunduran ummat terjadi secara bertahap. Dimulai dari lepasnya ikatan Islam berupa simpul hukkam/kenegaraan. Ini pulalah yang menimpa negeri ini. Sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku ”amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat.
Mereka telah mencoret kata-kata ”syariat Islam” dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi ”darurat” tersebut nama Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan..! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala...!

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR Ahmad 45/134)

sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar