Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya." Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci. (QS.As-Shaf:8-9)
Selasa, 10 November 2009
TIGA TAHAP REVOLUSI
Istilah revolusi bermakna bergolak atau berontak, dapat didefinisikan dengan “pergolakan untuk mengubah secara menyeluruh dan/atau cepat demi suatu perbaikan atau dari yang buruk ke arah yang baik dan/atau dari yang baik ke arah yang lebih baik.”
Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa sepanjang riwayat manusia telah terjadi tiga tahap revolusi yaitu Revolusi agraria, Revolusi industri, Revolusi informatika.
Revolusi agraria terjadi sekitar 10000 – 5000 sebelum Masehi. Corak hidup manusia berubah dari pengumpul dan pemburu menjadi penanam dan peternak. Manusia telah mengenal cara mengolah tanah untuk pertanian dan perkebunan. Hasil yang ditanam dimakan oleh manusia dan hewan peliharaannya. Cara mengolah tanah menuntut manusia untuk menjinakkan beberapa jenis hewan sehingga dapat dipakai bekerja. Dengan demikian mengolah tanah dan memelihara hewan saling terkait. Hewan dijinakkan untuk dipakai mengolah tanah dan hasil dari mengolah tanah dimakan oleh hewan yang telah dijinakkan tersebut. Pola hidup demikian memerlukan tempat mukim yang tetap, tidak perlu berpindah-pindah untuk berburu atau memetik.
Pertanian juga menuntut kepemilikan pengetahuan mengenai perilaku alam, terutama cuaca. Penetapan jadwal tanam yang tepat kelak disebut musim, dan upaya menjaga kesuburan tanah tanpa selalu mengandalkan musim hujan kelak disebut irigasi. Dari situ muncul ilmu astronomi dan matematika, dan dari situ muncul hasil perhitungan waktu semisal detik, menit, jam, tanggal, bulan dan tahun. Sistem penanggalan kelak dikenal dengan kalender. Revolusi ini muncul di Mesir, Mesopotamia (kini masuk ‘Iraq, Kuwait, sedikit Suriyyah dan sedikit Turki), India, Cina dan yang cenderung terabaikan: Arabia.
Revolusi industri terjadi sekitar abad ke-18. Perioda ini sering dikaitkan dengan penemuan apa yang disebut mesin uap oleh James Watt pada 1769. Dengan bantuan mesin tersebut manusia mampu membebaskan sekian banyak tenaganya dalam proses produksi karena diganti oleh tenaga mesin. Tenaga mesin juga mampu menghasilkan barang dan jasa dalam jumlah begitu besar. Revolusi ini muncul di Inggris. Akibat revolusi ini, dunia Barat untuk pertama kali mengungguli dunia Timur nyaris dalam segala bidang. Maka usaha menjelajah dan menjajah kolong langit ini menjadi terbantu, karena juga dinikmati oleh industri militer.
Revolusi informatika terjadi sekitar abad ke-19. Perioda ini dimeriahkan oleh penemuan berbagai alat-alat komunikasi yang memungkinkan manusia berbicara atau menyampaikan info satu sama lain pada jarak jauh, tanpa perlu teriak-teriak atau kirim dengan kurir. Diawali dengan telefon, kemudian telegraf, berlanjut dengan fax dan kini dengan komputer kita dapat menjelajah info dengan internet dan e-mail. Revolusi ini muncul di Amerika Utara dan Eropa Barat. Kini Amerika Serikat mendominasi teknologi komputer dengan kehadiran Microsoft di Seattle dengan panglimanya yang jenius, Bill Gates
Revolusi tersebut di atas erat terkait dengan penggunaan akal atau menghasilkan apa yang dikenal dengan teknik atau teknologi. Memang, fungsi teknologi adalah mempermudah dan/atau mempermurah. Revolusi ini mampu memperngaruhi nyaris seluruh aspek hidup manusia semisal seni, busana, politik, ekonomi, hukum, agama bahkan cara bersantai. Dengan demikian, revolusi teknologi mampu menampilkan revolusi politik, ekonomi, hukum, seni dan penafsiran terhadap agama.
Revolusi Sosio-Religi
Dalam sejarah kita juga mengenal revolusi yang berdasar sosio-religi, khususnya politik, namun ada yang berdampak pada bidang lain. Revolusi tersebut “diwarnai merah total” darah bahkan korban jiwa, yaitu Revolusi Protestan, Revolusi Inggris, Revolusi Amerika, Revolusi Perancis, Revolusi Jepang, Revolusi Cina, Revolusi Rusia, Revolusi Jerman.
1. Revolusi Protestan (sejak 1517)
Dari namanya dapat diketahui bahwa revolusi ini adalah gerakan protes. Protes terhadap apa atau siapa? Yaitu protes terhadap apa yang dinilai sebagai penyimpangan dan pengekangan yang dipraktekkan oleh gereja Katolik. Tokoh utamanya Martin Luther (1483-1546) dan Jean Cauvin (1509-1564). Revolusi ini adalah bagian dari gerakan besar Renaissance yang kelak membawa dunia Barat menjadi seperti saat ini, bersama gerakan humanisme. Hal ini mengingat bahwa gerakan yang pada awalnya murni agama kelak mempengaruhi atau memberi ilham bagi gerakan-gerakan yang bertujuan mencerahkan, terutama dunia Barat.
Layak juga diingat, revolusi ini terbilang spektakuler karena kaum Nasrani adalah umat terbanyak di kolong langit ini. Revolusi ini menolak taqlid dan menyeru supaya menyikapi agama tidak hanya menurut apa yang dikatakan oleh pendeta (gereja Katolik). Umat dihimbau untuk memahami atau mempelajari kitab suci langsung dengan membacanya.
Martin Luther merintis penterjemahan kitab suci ke dalam bahasa ibunya (Jerman) sehingga mengilhami penterjemahan kitab suci ke bahasa-bahasa lain. Sadar tak sadar, dia merintis ke arah kebebasan berfikir, lepas dari kekangan kaum gereja, untuk menyelidiki alam dan memanfaatkannya. Adapun Cauvin meletakkan dasar apa yang disebut Etika (Kerja) Protestan, antara lain menghargai giat belajar dan bekerja. Dia turut merintis pembangunan Universitas Jenewa dan kemudian diikuti oleh Kalvinis Belanda dengan pembangunan Universitas Leiden (1575).
2. Revolusi Inggris (abad-17)
Akar masalahnya adalah hubungan antara lembaga monarki dengan parlemen. Merasa bahwa parlemen sedikit banyak membatasi gerak-geriknya, Raja Charles membubarkan parlemen pada 1628 dan mencoba melaksanakan konsep monarki absolut. Hal tersebut menampilkan rasa tidak senang bagi mayoritas rakyat Inggris, sebagaimana yang tercermin dari perwakilan mereka dalam parlemen.
Namun pada 1640 raja memanggil lagi parlemen untuk bersidang mengingat dia butuh dana perang melawan Skotlandia. Wakil rakyat menuntut bahwa harus ada jaminan tidak ada lagi kekuasaan raja yang semau-maunya, suatu hal yang dinilai berat bagi raja karena akan menempatkan monarki di bawah parlemen. Pada saat itulah jalan keluar dinilai tidak ada, kecuali perang! Tampillah seorang tokoh yang memimpin parlemen melawan monarki yaitu Oliver Cromwell.
Setelah perang dan damai berselang-seling ditambah pergolakan dalam parlemen sendiri, pada 1689 tercapailah suatu kompromi: negara berdasar monarki konstitusional, monarki berada di bawah parlemen, dan tentu menghormati lembaga tersebut, dan negara menganut toleransi terhadap semua agama. Saat itu Raja Charles dan Oliver Cromwell sudah wafat. Tercapailah pelaksanaan ide demokrasi di dunia Barat setelah ribuan tahun terlupakan, sejak ditampilkan pertama kali di Yunani. Kelak dari Inggris, faham demokrasi menyebar ke tempat lain.
Ketika itu apa yang terjadi di Inggris sungguh-sungguh melawan arus, seantero dunia sedang bergerak dalam atau menuju monarki absolut. Perancis contohnya, mungkin merupakan negara yang mungkin ketika itu paling sukses saat itu melaksanakan monarki absolut. Seorang rajanya pernah bilang, “Negara adalah saya, sayalah negara”. Suatu ucapan yang mungkin klasik karena masih dipakai oleh negara-negara yang tidak demokratis, meskipun bercorak republik.
Suasana demokratis di Inggris memberi peluang untuk berkreasi dalam berbagai bidang, manusia dibebaskan berfikir sejauh-jauhnya untuk kelak diuji atau dinilai oleh masyarakat. Muncul sejumlah ilmuwan semisal Isaac Newton, James Watt, George Stephenson dan lain-lain.
3. Revolusi Amerika (1775-1783)
Akar masalahnya adalah ketiadaan wakil di parlemen untuk warga Anglo-Saxon (bangsa berbudaya Inggris) di belahan utara benua Amerika, yang bermukim sejak awal abad ke-17. Pemerintah Inggris menetapkan pajak untuk mereka dan ditolak oleh warga, lazim disebut kolonis, karena segala sesuatu yang terkait dengan para kolonis harus dibicarakan melalui wakil di parlemen, dan wakil tersebut tidak ada. Artinya para kolonis mendapat kewajiban tanpa hak.
Revolusi tersebut berawal dari pertempuran antara aktivis kolonis dengan pasukan pemerintah di Bunker Hill dan Concord, dan pernyataan kemerdekaan –artinya lepas dari Inggris– dilaksanakan pada 4 Juli 1776, yang kelak disebut Independence Day oleh rakyat Amerika Serikat. Revolusi ini menampilkan tokoh-tokoh antara lain Benjamin Franklin, Thomas Jefferson, Alexander Hamilton, dan tentu saja George Washington.
Pasca revolusi, bangsa baru tersebut mencoba tampil dengan penuh percaya diri. Seakan mencoba berlomba dengan Inggris, bangsa Amerika berusaha memperbaiki mutu sumber daya manusianya. Hasilnya memang mengesankan, pada abad ke-20 Amerika menguasai teknologi antariksa dan nuklir. Namun sadar tak sadar sebagai akibat pengaruh zionis –suatu hal yang sempat diperingatkan oleh Benjamin Franklin– berakibat berangsur-angsur AS tampil sebagai imperialis.
Dapat kita saksikan betapa AS sangat memihak Israel. Benjamin Franklin sempat mengusulkan supaya AS memiliki peraturan yang intinya mewaspadai kehadiran zionis di negerinya, karena “kelak mereka akan menunggangi dan hidup di atas jerih payah dan keringat anak cucu kita.” Peringatan tersebut agaknya diabaikan, maka sudah menjadi rahasia umum bahwa lobi zionis di AS sangat kuat. Siapapun yang ingin menjadi presiden harus mendekati lobi tersebut.
4. Revolusi Perancis (1789, 1830 & 1848)
Revolusi Perancis adalah usaha rakyat Perancis menumbangkan rezim monarki absolut. Revolusi ini merupakan permainan keras dari periode yang dikenal dengan sebutan Aufklarung (Pencerahan), suatu periode kebangkitan Barat berikut setelah perioda Renaissance (Kelahiran atau Kebangkitan Kembali). Kolusi negara-gereja berakibat rakyat Perancis sulit mencipta secara bebas. Pencerahan yang dilaksanakan para filsuf antara lain Montesqieu, Voltaire dan Jean Jacques Rousseau menyadarkan rakyat bahwa selain kewajiban juga terdapat hak. Sekian lama rakyat lebih dibebani kewajiban dibanding mendapat hak, terutama berbagai kewajiban pajak.
Revolusi ini juga menampilkan seorang panglima sekaligus kaisar tenar bernama Napoleon Bonaparte. Walaupun dia agak bersikap keraja-rajaan, peperangan yang dia kobarkan –mungkin perang terbesar abadke-19– turut menyebarkan ide-ide revolusi Perancis. Bersama nilai-nilai dari Revolusi Amerika, Revolusi Perancis turut menyumbang apa yang dikenal dengan “Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa” yang muncul pada 10 Desember 1948.
5. Revolusi Jepang (1860-1945)
Merupakan usaha sekelompok samurai menumbangkan pemerintahan yang dikenal dengan shogun dan menaikkan status kaisar melebihi sekadar lambang belaka, walaupun (masih) ada pembatasan wewenang. Rezim shogun (1192-1868) telah menutup Jepang dari dunia luar selama sekitar 250 tahun dengan istilah politik isolasi yang berakibat Jepang tertinggal sekitar 300 tahun dengan Barat. Ketika itu kaum revolusioner sadar bahwa Jepang akan mendapat giliran dijajah. Tetangga Jepang yaitu Cina sedang keropos, rakyat Cina cenderung menganggap Dinasti Manchu (1644-1912) adalah orang asing. Berulang-ulang terjadi pemberontakan terhadap dinasti tersebut namun baru sukses pada 1912. Dan sejak abad ke-19 Cina mengalami penghinaan akibat serbuan fihak asing, antara lain konflik yang lazim disebut Perang Candu (1839-1841) berakibat Cina dipaksa melepas Hongkong. Hal tersebut mungkin yang mendorong revolusioner Jepang menggulingkan rezim shogun
Dengan strategi mengalah untuk menang, Barat dirangkul untuk mendapat ilmunya. Dengan cerdik pengaruh Barat diambil, disaring dan disesuaikan dengan identitas Jepang sendiri. Para intelek Barat diundang untuk mengajar dan hasilnya dapat disaksikan pada awal abad ke-20: Jepang setaraf modernnya dengan Barat tanpa perlu kehilangan kepribadiannya. Namun kelak kebutuhan terhadap sumber alam dari luar untuk industrinya –mengingat Jepang miskin sumber daya alam– sekaligus untuk memasarkan hasil-hasilnya memaksa Jepang untuk meniru Barat yaitu melangkahkan kaki imperialisme.
Hal tersebut juga memiliki tujuan untuk menjauhkan imperialisme Barat dari wilayah Jepang, mengingat sejak pertengahan abad ke-19 Jepang terkepung oleh imperialisme Barat. Langkah kaki imperialistiknya berakibat Jepang terlibat Perang Pasifik (7 Desember 1941 – 2 September 1945), sebagai bagian dari Perang Dunia ke-2, dan berakhir dengan kekalahan Jepang. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, tanah Jepang diinjak oleh orang asing yang hadir sebagai penakluk. Walau Jepang hancur dan kalah, namun dasar untuk maju yang telah dimulai saat Restorasi Meiji (1867-1912) menjadi pendorong Jepang untuk bangkit kembali dan kini barang-barangnya laku atau merajai pasar di mancanegara. Dan hasil dari perang tersebut adalah kebangkitan bangsa-bangsa terjajah di Asia, Afrika dan Pasifik untuk meraih kemerdekaan.
6. Revolusi Cina (1911-49)
Merupakah usaha rakyat Cina mengakhiri monarki absolut dan mengganti dengan republik, sekaligus untuk mengakhiri kekuasaan asing serta melaksanakan modernisasi. Cina dikuasai oleh monarki mungkin sejak sekitar 3000 sebelum Masehi, karena itu revolusi ini memiliki nilai penting bukan hanya bagi Cina namun juga dunia, mengingat juga Cina berpenduduk paling banyak di dunia. Menggerakkan rakyat untuk mengganti sistem monarki yang kokoh ribuan tahun menjadi sistem republik jelas bukan perkara mudah. Sepanjang sejarahnya, Cina mengenal berulang-ulang pemberontakan atau kekerasan namun hanya menghasilkan dinasti baru: pindah dari dinasti ke dinasti. Layaklah jika revolusi ini kemudian difilmkan dengan sosok sentral Henry P’uyi sebagai The Last Emperor, sesuai judul filmnya.
Selain itu, revolusi ini turut menyumbang sebagai penyebab Perang Dunia ke-2: selain terjerumus dalam perang saudara, Cina juga terlibat perang yang panjang dan kejam dengan Jepang, dikenal dengan Perang Cina-Jepang II (7 Juli 1937 – 2 September 1945). Hasil dari revolusi tersebut menguntungkan komunis, pada 1 Oktober 1949 mereka meraih puncak, padahal yang mengobarkannya adalah kaum nasionalis. Suka tak suka, kaum komunis agaknya mampu mempertahankan posisi Cina sebagai super power abadi.
Negara-negara super power pada zaman dahulu tampil bersamaan dengan Cina semisal Mesir, Mesopotamia, Yunani dan Romawi kini hanyalah cerita sejarah: ada yang masih eksis namun menjadi negara kecil, bahkan ada yang lenyap dan sebagai gantinya muncul negara dengan nama baru. Cina adalah satu-satunya negara Timur yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dengan modernisasi –yang memang menjadi tujuan revolusi– Cina kini menjadi negara nuklir dan juga menguasai teknologi antariksa. Namun, hingga kini (masih) ada tujuan pokok revolusi yang belum tercapai, yaitu demokrasi. Rezim komunis masih memberlakukan beberapa pembatasan antara lain dalam hal agama –hal yang bertentangan dengan tujuan revolusi.
7. Revolusi Rusia (1917 – 1921)
Merupakan usaha rakyat Rusia mengganti monarki absolut menjadi republik, yang juga berbuah perang saudara yang mengerikan, sekitar 15.000.000 orang tewas. Hasilnya –sebagaimana Cina– terbilang ironis. Revolusi tersebut kelak terbukti –walau tidak dimaksudkan demikian– adalah mengganti kekuasaan absolut dengan kekuasaan yang lebih absolut. Komunis dengan licik dan kejam memanfaatkan suasana anarki revolusi.
Rusia menjadi negara komunis pertama dan mengekspor faham tersebut, bahkan dengan menaklukan negeri lain. Perang Dunia ke-2 dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk hal tersebut. Ketika perang tersebut usai, pasukan Rusia / Uni Soviet menguasai Eropa Timur, sebagian Eropa Tenggara dan Kepulauan Kurile. Pemerintahan komunis juga muncul di Albania dan Yugoslavia, namun karena di situ tak ada pasukan Rusia maka keduanya tidak menjadi satelit Uni Soviet. Syukurlah, rezim totaliter tersebut akhirnya runtuh pada 1991, yang diikuti oleh rezim di negara-negara satelitnya. Artinya, baru pada tahun tersebut tercapailah tujuan revolusi yaitu demokrasi. Kehidupan beragama, antara lain, berangsur-angsur bangkit.
8. Revolusi Jerman (1933-45)
Adolf Hitler adalah pemeran utama. Revolusi ini tidak hanya sekadar penyumbang faktor Perang Dunia ke-2, namun pengobarnya. Revolusi ini untuk melawan komunis dan zionis. Bagi Hitler, kedua faham ini merupakan ancaman bagi peradaban Kristiani Barat (Western Christendom), bahkan dunia, suatu hal yang menurut penulis terbukti kebenarannya. Dia ingin mewujudkan Jerman yang canggih, kuat, makmur dan Kristiani. Dia menilai kedua faham itu lawan beratnya. Persekongkolan komunis-zionis menggagalkannya: Jerman terbagi dua antara 1945-1990, Jerman juga kehilangan sebagian wilayahnya, komunis berkembang pesat dan zionis sukses membentuk negara Israel.
Propaganda komunis-zionis sukses menutup-nutupi kejahatan mereka dan sukses menjelaskan Hitler sebagai sejahat-jahat manusia, seolah tidak ada kebajikannya sedikit pun jua. Bagi dunia Muslim, Jerman di bawah Hitler adalah alternatif setelah kekhilafahan –minimal sebagai simbol persatuan Muslim– hapus pada 1924, hal tersebut tak terlepas dari rekayasa zionis. Sikap bersama anti zionis (dan komunis) antara Hitler dengan gerakan Pan Islam menyebabkan sempat terjadi kerja sama kedua fihak.
Harap diketahui, Turki –pemegang kekhilafahan sejak 1517– bersekutu dengan Jerman pada Perang Dunia ke-1 (1914-1918), dan berada pada fihak yang kalah dan terhina. Jerman kehilangan sebagian wilayahnya, dilucuti kekuatan militernya, disita wilayah koloninya dan dibubarkan sistem monarkinya. Turki kehilangan wilayahnya dan dihapus lembaga khilafahnya, melalui antek imperialis bernama Mushthafa Kamal Basya. Penghapusan khilafah –semacam Pax Islamica– adalah termasuk musibah besar bagi kaum Muslim, namun hanya sedikit yang menyadarinya. Kaum Muslim makin terpecah dan darahnya makin tertumpah, hingga kini. Maka tak mengherankan, ketika Hitler tampil dengan semangat anti zionis dan komunis sempat meraih simpati kaum Muslim. Beberapa tokoh Muslim datang ke Jerman dan beberapa elit Jerman berkunjung ke dunia Muslim. Kini, pemerintah Jerman (mungkin terpaksa) harus memihak zionis besar yaitu pemerintah AS, sebagaimana Jepang sebagai akibat kekalahan mereka berdua dalam Perang Dunia ke-2.
Sifat Buruk Bangsa Indonesia
BANGSA Indonesia dapat mengambil pelajaran dari revolusi tersebut di atas, diharapkan bahwa bangsa ini cermat atau mempertimbangkan semasak mungkin sebelum melaksanakan revolusi. Minimal bangsa ini sudah dua kali salah berrevolusi yaitu Revolusi Soekarno atau Revolusi 1945, sebagaimana telah disebut, dan Revolusi 1965.
Revolusi 1945 yang konon ingin mengganti nilai-nilai atau kepribadian Hindia Belanda dengan nilai-nilai Indonesia, justru mengganti jahiliyah atau katanya kafir dengan yang lebih jahiliyah. Revolusi Soekarno bahkan menambah daftar dosa dengan menumpas Revolusi Darul Islam, padahal sebagian besar aktivis Revolusi 1945 termasuk dia sendiri adalah berlatar belakang Muslim.
Jika pemerintah Hindia Belanda menolak pelaksanaan syari’at Islam, hal tersebut dapat difahami mengingat kekuasaan dimiliki oleh non Muslim. Namun bagaimana dengan Muslim yang menolak syari’at Islam, apakah lebih baik dari pada Hindia Belanda?
Demikian pula dengan Revolusi 1965, revolusi tersebut adalah usaha bangsa ini menumbangkan apa yang disebut rezim orde lama yaitu Soekarno, yang dinilai diktator, namun yang tampil kemudian lebih diktator lagi – yang jauh lebih lama dan lebih kejam– namun sempat membuat silau dengan apa yang disebut dengan berbagai jargon semisal pembangunan, pertumbuhan, pemerataan, stabilitas mantap, aman dan terkendali serta aduhai masih banyak lagi.
Setelah “fir’aun” Soeharto lengser (atau longsor?), terkuaklah berbagai aib namun dapat dibagi dalam dua “garis besar haluan negara” ala orde baru yaitu “Korupsi, Kolusi, Nepotisme” dan “pelanggaran HAM”. Selama berkuasa, ternyata Soeharto menciptakan “killing field” di negeri ini. Pelaksanaan apa yang disebut Daerah Operasi Militer di Aceh, Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste) dan Papua meminta banyak korban jiwa dan trauma. Konon, selama berkuasa sekitar 3.200.000 orang tewas dalam berbagai pelanggaran HAM. Dan Soeharto tak lupa menutup peluang Indonesia nyata-nyata menjadi negara berdasar Islam.
Maka, semoga dengan Revolusi 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto, bangsa ini tidak mengulangi kesalahan. Memahami nilai-nilai kedelapan revolusi tersebut di atas agaknya sedikit banyak bermanfaat bagi pencerahan pemikiran dan pembenahan perilaku bangsa ini. Bangsa ini begitu banyak memiliki sifat-sifat buruk, dengan menyimak revolusi-revolusi tersebut diharap dapat menjadi ilham bagi suatu perubahan sifat yang lebih baik semisal demokratis namun tidak anarkis, bebas namun bertanggung jawab atau mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.
Berikut ini sekilas dibahas beberapa sifat buruk bangsa ini, dan perlu revolusi untuk mengubahnya:
1. Syirik
Bangsa ini percaya bahwa tempat-tempat tertentu atau waktu-waktu tertentu adalah keramat atau angker. Sebelum Allah menganugerahkan agama Islam kemari, bangsa ini percaya dan menyembah segala sesuatu yang indah, besar atau seram semisal pohon besar, batu besar, gunung, petir atau badai. Pada tempat-tempat tertentu atau waktu-waktu tertentu ada ritual semisal baca mantera, beri sesaji. Bangsa ini menilai tanpa melaksanakan itu bencana akan datang, karena penunggu tempat-tempat angker tersebut murka.
Setelah agama luar masuk –terutama Islam yang notabene memiliki konsep tauhid (monoteis) yang jelas, bangsa ini masih belum mau (belum mampu) melepas faham syiriknya. Walau mereka menyembah Allah, namun mereka juga menyembah berbagai siluman semisal Nyi Roro Kidul. Di Samudera Beach Hotel terdapat kamar khusus untuk dia, orang-orang datang untuk ritual tertentu. Praktek ritual tolak bala yang lazim disebut ruwatan juga masih dilestarikan, padahal agama telah menyajikan tuntunan jelas untuk menghadapi musibah.
2. Selingkuh, curang, korup, bangsa ini tidak amanat.
Dengan kata lain bangsa ini cenderung khianat, terutama dalam hal jabatan. Bangsa ini cenderung lebih menilai bahwa jabatan adalah merupakan nikmat dari pada amanat. Jabatan artinya gaji besar, wewenang besar –dalam arti dapat sewenang-wenang, fasilitas mewah dan peluang untuk menyalah gunakannya.
Sekadar contoh, bulan Ramadhan yang mestinya adalah latihan satu bulan untuk dipakai 11 bulan, pemahamannya diselingkuh menjadi 11 bulan untuk suka-suka, satu bulan untuk “bersih-bersih” dan 11 bulan kembali semau gue. Demikian juga dengan makna zakat, yang seharusnya dari harta yang halal dan berfungsi untuk membersihkan harta dari hak orang lain yang dititipkan Tuhan kepadanya, diselengkan maknanya menjadi untuk bersih-bersih harta yang haram. Dengan demikian bangsa ini menilai bahwa jika ada dosa karena korupsi, ada pula pahala karena memberi. Ya, jadi dinilai hasilnya 50 : 50.
3. Fanatik tapi munafik.
Bangsa ini cenderung menilai diri sendiri sebagai bangsa yang agamis. Namun apa yang mereka ketahui tentang agama? Apakah mereka punya waktu untuk belajar agama? Yang nyata adalah, sebagian besar bangsa ini sibuk mengejar dunia. Yang kaya sibuk menumpuk dan mengamankan asetnya. Yang miskin jatuh bangun, peras keringat banting tulang demi meraih sesuap nasi. Bagaimana mereka sempat belajar agama? Namun jika ada kasus yang sedikit banyak bersentuhan atau terkait dengan agama, maka hebohlah mereka bicara agama, mendadak bangsa ini seakan-akan pintar agama.
Khusus kaum Muslim, cenderung masuk masjid tobat, keluar masjid kumat. Rajin shalat namun rajin pula maksiat. Berbondong-bondong ke masjid, berbondong-bondong (memaksakan diri) pergi haji, masjid tumbuh lekas bagai jamur tumbuh di musim hujan. Namun apa hasilnya ? Bangsa ini konon dikenal sebagai korup nomor satu, porno nomor dua, dan punya pabrik ekstasi nomor 3 terbesar di dunia, departemen paling bobrok adalah departemen agama, hamba hukum justru melecehkan hukum, pengawas justru harus diawasi. Maka, pada hakikatnya bangsa ini tidak beragama namun bertopeng agama. Ingat, bangsa ini memiliki budaya topeng, dan topeng yang paling laris adalah topeng agama. Jelaslah, kehidupan ritual dengan sosial seakan berjalan-sendiri-sendiri, tanpa ada kaitan. Keshalihan ritual belum menjamin ada keshalihan sosial.
3. Buas, bangsa ini gemar dengan kekerasan.
Riwayat bangsa ini penuh dengan pertumpahan darah: perang saudara antar keluarga keraton, antar suku, antar kampung, berebut harta dan tahta. Namun cenderung tanpa ragu menilai diri sebagai bangsa yang ramah, yang santun. Penulis percaya bahwa tidak ada sedikit pun tanah Indonesia yang tersisa bersih dari tumpahan darah, seluruhnya pernah ketumpahan darah.
Sifat buas juga membuahkan perusakan, bangsa ini fitrahnya bukan membangun namun merusak. Jika ada yang disebut pembangunan, kerusakanlah yang tampil. Merusak alam, merusak fasilitas, merusak barang dapat kita saksikan sehari-hari. Bahkan ada gejala yang agaknya makin marak, yaitu merusak agama.
4. Jorok, secara fisik maupun mental.
Kita dapat saksikan betapa bangsa ini buang sampah sembarangan, buang (maaf) tahi sembarangan, merokok sembarangan, yang berdampak pada pencemaran alam. Fikiran pun tak kalah joroknya, karena fikiran tak jauh dari selangkang maka tak heran bangsa ini terbelakang. Penulis sering ditanya kapan kawin atau dipertanyakan status lajangnya. Mereka berdalih bahwa hal tersebut adalah sunnah rasul. Padahal sunnah rasul bukan cuma kawin: mencari rezeki halal, tolong menolong, disiplin juga sunnah rasul. Namun kenapa yang disebut cuma kawin?
Jika dibahas terus menerus maka nyatalah bahwa motif sunnah rasul cenderung hanya topeng, motif erotis atau pornografis lebih dominan pada diri mereka. Kembali lagi pada perihal munafik: bukan beragama namun bertopeng agama! Penulis membayangkan, malaikat maut mungkin akan tutup hidung jika mencabut nyawa orang Indonesia. Kenapa? Karena arwahnya busuk. Hal itu mungkin saja terjadi mengingat selama hidup otaknya busuk, hatinya busuk dan makan yang busuk semisal terasi!
5. Malas, bangsa ini tidak punya etos kerja.
Bangsa ini lebih peduli terhadap hasil dibanding proses. Padahal, untuk mencapai hasil yangt baik haruslah melalui proses yang juga baik. Faktanya, bangsa ini cenderung potong kompas atau ambil jalan pintas jika (terpaksa) harus ada proses menuju (suatu) hasil. Sekadar contoh, untuk menjadi kaya bangsa ini cenderung tergoda mengambil jalan pintas semisal ikut undian, main judi, mencuri, merampok atau menempuh pesugihan. Padahal agama sangat menghargai proses, terlepas dari sukses atau gagal. Manusia wajib usaha namun tidak wajib hasil. Bekerja keras meraih rezeki halal sebanyak mungkin tetap mendapat nilai atau penghargaan Tuhan walau gagal mendapat rezeki dalam jumlah yang diharap, dengan demikian proses pun mendapat penghargaan Tuhan. “Bekerjalah, sungguh Allah, malaikat dan orang beriman menjadi saksi bagimu…..” demikian firman dalam kitab suci, agaknya kurang disimak. Ada pula semacam mental budak, sebelum diawasi atau dicambuk, maka sulit bangsa ini tergerak untuk bekerja. Dengan demikian gairah bekerja sulit bangkit dari diri sendiri, agaknya mesti disuruh-suruh terlebih dahulu.
6. Dengki atau diistilahkan dengan sirik, tidak senang melihat orang senang.
Yang tersimpan di batinnya adalah “bagaimana milikmu atau miliknya menjadi milikku”. Sedapat mungkin menyusahkan orang yang senang dan menambah susah orang yang susah. Untuk melampiaskan nafsu siriknya bangsa ini menggunakan cara-cara syirik semisal santet. Rumusnya senang melihat orang susah, susah melihat orang senang.
7. Nimbrung, suka ikut campur atau mau tahu urusan yang sesungguhnya bukan urusannya.
Bangsa ini sadar tak sadar ingin menjadi tuhan atau mengambil hak tuhan: ingin tahu segala atau mencampuri segala. Padahal makhluk memiliki keterbatasan atau pembatasan: ada yang wajib diketahui, ada yang boleh diketahui dan ada yang haram atau tabu diketahui. Ada yang menjadi urusannya dan ada yang bukan urusannya. Bangsa ini sulit membedakan lahan privat dengan publik, cenderung sering tercampur atau mencampur.
Revolusi Darul Islam
Revolusi ini dikobarkan oleh Kartosoewirjo, seorang ulama asal Jawa Timur namun lama mukim dan akhirnya syahid di Jawa Barat. Sejak 1920-an dia aktif dalam organisasi Islam, berawal dari Jong Islamieten Bond, Partai Syarikat Islam Indonesia, Majlis Syura Muslimun Indunisiyyah dan akhirnya membentuk Darul Islam. Sejak muda dia aktif menulis, isinya adalah konsep negara Islam. Untuk mewujudkannya dia membentuk lembaga pendidikan yang disebut Institut Suffah.
Para kader dididik dan beberapa di antaranya menjadi aktivis Darul Islam. Dia menilai bahwa Revolusi 1945 masih bercorak jahiliyyah, ketika rapat pengesahan konstitusi –kelak disebut Undang Undang Dasar 1945– dilaksanakan pada 18 Agustus 1945, apa yang disebut Piagam Jakarta dihapus dari rancangan konstitusi. Buyarlah harapan menwujudkan Indonesia yang Islami, konsep yang susah payah disusun tersebut dihapus begitu saja dengan dalih “untuk menjaga persatuan dan kesatuan” bangsa. Maka Indonesia pun menjadi jahiliyyah, hingga kini.
Kartosoewirjo berusaha menyelamatkan Piagam Jakarta dengan mengajukan revolusi alternatif terhadap revolusi Soekarno. Walaupun dia tidak hadir saat penyusunan dan pengesahan UUD 1945 –atau bahkan kecil kemungkinan tahu tentang tarik ulur perdebatan tentang tempat Islam di dalamnya– mengingat dia di Malangbong, namun spirit Piagam Jakarta adalah spiritnya juga. Usahanya sempat menampilkan Negara Islam Indonesia yang bertahan di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Di wilayah tersebut syariat Islam sempat berlaku –kendati terkesan tertatih-tatih akibat rongrongan Soekarno– dan akhirnya tertumpas.
Gerakan Darul Islam adalah satu di antara sekian banyak revolusi Islam yang pernah terjadi di Indonesia, revolusi yang berusaha melaksanakan perubahan cepat dan menyeluruh dimulai dari diri sendiri kemudian meluas ke masyarakat. Lawan beratnya justru dari kaum Muslim sendiri. Makin percaya bagi penulis bahwa “musuh terjahat adalah musuh terdekat”. Karena itu revolusi Islam mencakup revolusi (yang dimulai) terhadap diri sendiri, sesama Muslim dan non Muslim.
diambil dari swaramuslim.net (koleksi buku indragenie)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar