Kamis, 05 November 2009

Perang Salib (III)


Selama Perang Salib sudah nampak kelemahan di pihak tentara Salib, yaitu perselisihan dan persaingan antara raja-raja dengan Emperor Alexius dan persaingan antara raja-raja sendiri, apalagi ketika musuh bersama mereka sudah tidak berdaya lagi. Kelemahan itu bertambah dengan kembalinya sebagian besar tentara Salib ke Eropa.

Di pihak lain, kaum muslimin yang menyadari kelemahannya mulai mengonsolidasikan diri. Dari selatan, tentara Salib mulai didesak oleh tentara Mesir sehingga Ar-Ramlah dapat ditaklukan pada tahun 1102 melalui pertemperan yang hebat. Dari utara mereka mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan Atabek yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Salajiqoh, anatar lain Atabek al-Mausal yang dipimpin oleh Imadiddim Zangi pada tahun 1127. Prof K. Ali pernah menggambarkan pribadi Imaduddin Zangi, anak Sultan Malek Syah ini sebagai berikut, "Ia lebih mencintai sadel kuda daripada tempat tidur sutera, lebih senang menjadi pemimpin pertempuran daripada menikmati lagu dan musik yang indah, dan lebih memilih berbicara dengan senjata daripada bersenda gurau dengan wanita cantik." Ia mampu menahan perluasan kekuatan Salib, bahkan mampu menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen satu per satu, sehingga Ruha (Edessa) dapat ditaklukan lagi pada tahun 1144. Edessa dianggap oleh orang Kristen sebagai kota suci. Karena itu, di sana didirikan keuskupan. Ketika Imaduddin dan tentaranya memasuki daerah itu, mereka tidak menghukum semua orang Kristen, kecuali yang ikut berperang dan membantu tentara Salib Jerman. Imaduddin dibunuh oleh tentaranya sendiri ketika beroperasi di Kalat-Jabir. Putranya, Nuruddin Zangi, kemudian menggantikannya dan menjadikan Aleppo sebagai pusat pemerintahannya. Pada masa Nurudin inilah terjadi Perang Salib II.

Paus Eugenius III memilih seorang dai, Padri Bernand, untuk berbicara atas nama Paus. Ia pandai membakar semangat orang-oarang Eropa untuk membantu orang-orang Salib di Timur. Padri ini berhasil mempengaruhi Louis VII, raja Prancis, dan Conrand III, raja Jerman, untuk memimpin serangan baru menyelamatkan wilayah Kristen di Syam itu. Baron-baron dari kedua negara itu turut serta mengikuti jejak raja-raja mereka.

Tentara Jerman lebih dahulu bergerak menyeberangi Sungai Danube menuju Konstantinopel. Di sana mereka disambut Emperor Manual yamng memiliki semangat tanpa perhitungan matang dan tidak sepandai Alexius. Sesampainya tentara Jerman ke Asia Kecil, dengan mudah tentara Islam menggempurnya sampai sebagian besar tentara Jerman ini terbunuh. Demikian pula nasib tentara Prancis yang sampai ke Konstantinopel, mereka mengalami nasib yang sama seperti tentara Jerman--selain banyak yang mati karena wabah penyakit. Sisa-sisa tentara mereka berangkat juga menuju Syiria hendak mengepung Damaskus. Akan tetapi, Nuruddin Zangi dapat menghalau mereka. Kedua anak raja ini pulang ke Eropa, Perang Salib II selesai.

Penyebab kegagalan tentara Salib adalah tidak adanya kerja sama yang baik antara meraka. Satu dengan yang lain tidak saling mempercayai karena masing-masing merasa khawatir kekuasaannya akan dicaplok, ditambah lagi wabah penyakit terutama yang menimpa tentara Prancis, di samping serangan yang tidak dilakukan secara serempak seaperti pada Perang Salib II.

Sejak Dinasti Zangi memegang kembali pimpinan, perimbangan kekuatan berubah lagi. Kemenangan Nuruddin mempertinggi semangat untuk menaklukan lagi wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen. Pada tahun 1149, ia menaklukan Antioch, pada tahun 1151 menaklukan Ruha (Edessa), dan tahun 1164 menawan Bohemond III dan Raymond III yang memerintah Tripoli. Kemudian, Nuruddin mengambil alih Damaskus dari Muiddin Umar yang dianggapnya lemah dalam menghadapi gerakan Salib, bahkan secara rahasia ia berusaha mengkhianati Nuruddin. Yang penting pula Nuruddin mengirimkan seorang panglima yang gagah berani, Asaduddin Syirkuh, ke Mesir dalam rangka memperkuat sayap kiri menghadapi tentara Salib. Syirkuh diterima baik oleh rakyat Mesir dan Khalifah Fatimiyyah. Ia diangkat sebagai perdana menteri, dan praktis memegang kekuasaan pada tahun 1169. Namun, tidak lama kemudian ia wafat. Kedudukannya lalu digantikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang melanjutkan jabatan perdana menteri pada masa Khalifah Al-Adhid. Di samping memperkuat sayap kiri barisan kaum muslimin, Shalahuddin juga memberi peluang timbulnya dinasti Al-Ayyubi. Peristiwa demi peristiwa terjadi pada masa kekuasaannya, sehingga Salahuddin akhirnya menutup riwayat Khilafah Fatimiyah Syi'iyah. Ia berhasil mengembalikan Mesir kepada Ahli Sunnah, dan tunduk kepada Khalifah Abbasiyyah di Baghdad. Selanjutnya ketika Nuruddin Zangi meninggal dan digantikan anaknya, Ismail, terbuka kesempatan bagi Shalahudin untuk mengambil alih kekuasaan. Ia berusaha keras mengadakan konsolidasi, menggabungkan daerah-daearah yang belum tunduk kepada kekuasaan Nuruddin. Penting juga untuk dicatat, dengan berkuasanya Salahuddin di Mesir, pusat kekuasaan Islam beralih ke Selatan, sehingga Mesir menjadi markas utama dalam melawan gerakan Salib. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perpecahan di kalangan pelanjut Nuruddin di Syam.

Di antara strategi dan taktik Salahuddin ialah mendahulukan konsolidasi negara-negara Arab-Islam, termasuk Al-Nubah, Yaman, Hijaz, dan Syam. Selain sebagai panglima militer, ia juga seorang politikus di zamannya. Ia mempergunakkan taktik mengulur waktu melalui perjanjian damai dengan pihak Salib. Sementara itu, ia melakukan konsolidasi kekuatan militer untuk mencapai sasaran utama.

Setelah itu, baru Salahuddin melancarkan serangan-serangan ke kubu kekuatan Latin. Pertama-tama, untuk mengamankan Mesir dari serangan sebelah Barat, ia menaklukkan Afrika yang diduduki tentara Normandia. Karena sistem yang tidak begitu kuat, dalam waktu singkat ia bisa menduduki Tripoli (Libya) dan Tunis, bahkan kota Kobis pada tahun 568 H. Lalu, ia mengarahkan serangan demi serangan ke Palestina. Salahuddin mencoba menyerang Balabak dan Damaskus, kemudian Palestina (1117). Serangan-serangan ini gagal, bahkan Salahuddin sendiri hampir tertawan. Ia kembali ke Mesir untuk mempersiapkan diri lebih baik.

Ada dua peristiwa pertempuran penting yang menyebabkan nama Salahuddin semakin harum, dan dengan sendirinya membuka pertahanan untuk menerobos dan merebut kembali Bait al-Maqdis dari kekuasaan Salib. Pertama, penaklukan benteng Ya'kub yang kokoh di Banyas--benteng itu merupakan sarana penyokong bantuan. Sementara itu, Farukh Syah, keponakan Salahuddin, dapat menaklukkan Damaskus dari Baldwin IV. Sementara pengepungan benteng Ya'kub makin diperketat, Salahuddin juga mengirim tentera untuk menaklukkan Beirut dan Saida. Pihak Latin terpaksa meminta perdamaian. Dalam hal ini siasat Salahuddin adalah menerima sebagian dan menolak sebagian yang pernah mengkhianati perjanjian, tujuannya untuk memecah kekuatan mereka. Selain itu, ia juga membenahi kekuasaannya di Mausol dan Aleppo setelah wafatnya Al-Malik al-Salih, Sultan Ismail Ibn Nuruddin. Kedua, pertempuran Hittin (1187) setelah Salahuddin menaklukkan wilayah-wilayah lainnya, dan setelah Regional of Chatillon mengkhianati perjanjian perdamaian, bahkan tenteranya melakukan serangan-serangan yang membabi-buta terhadap jamaah haji kaum muslimin. Reginald menawan kafilah haji, termasuk saudara perempuan Salahuddin. Hittin adalah suatu lapangan yang dikelilingi bukit-bukit dan berdekatan dengan laut Tabariah. Tentara Latin berjumlah 20.000 orang dipimpin oleh raja Bait al-Maqdis, Guy of Lusignon, dan Reginald of Chatillon, penguasa benteng Karak. Namun, kaum Muslimin berjaya dapat memenangkan pertempuran yang menentukan ini. Kekalahan salib ini berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya, tentara Salib semakin lemah, karena yang ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan juga panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan kota-kota lainnya, seperti benteng Tabariah, Akka, Al-Naisiriah, Qisariah, Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan dengan mudah, dan merupakan kulminasi atau puncak reputasi Salahuddin yang ditakuti oleh pihak Salib.

Selanjutnya Salahuddin mengarahkan tentaranya menuju Jerusalem. Pusat-pusat kekuatan yang akan memberikan bala bantuan dapat diamankan. Pada mulanya Salahuddin ingin memasuki kota suci itu secara damai karena mempertimbangkan kedudukan daerah ini yang bukan saja kota suci bagi Kristen, tetapi juga kota suci agama samawi lain, termasuk Islam. Akan tetapi, pihak penguasa Salib tidak mau begitu saja menyerahkannya, karena mereka merasa bentengnya kuat, dan orang-orangnya banyak karena merupakan pelarian terakhir. Salahuddin terpaksa harus menggempurnya. Ia mengambil posisi di Bukit Zaitun sebagai markas tentaranya, dan memerintahkan agar menempatkan majanik-majanik di atas bukit itu. Tentara Salahuddin menjadikan batu-batu bukit sebagai peluru. Tentara-tentara Salib berlindung di benteng-benteng besar. Pasukan penerobos berusaha memasuki benteng dengan keberanian yag luar biasa. Tidak ada jalan lain bagi tentara Salib, kecuali menyerah dan mengadakan perundingan mengenai pemberangkatan tentara Salib daru Jerusalem. Dalam tempo 40 hari, mereka harus keluar dari Jerusalem dengan membayar semacam kerugian perang: laki-laki membayar 10 dinar, perempuan 5 dinar, dan anak kecil 2 dinar setiap orangnya. Dari fakta ini tampak kebesaran jiwa Salahuddin, yang mampu menguasai diri dan anak buahnya untuk tidak mengadakan tindakan pembalasan di luar perikemanusiaan seperti yang pernah dilakukan tentara Salib ketika merebut Jerusalem tahun 1099.

Sekumpulan istri para bangsawan dengan anak-anaknya datang berbondong-bondong kepada Salahuddin agar suami atau bapak mereka dibebaskan sehingga mereka bisa pulang ke Eropa dengan tenang. Mendengar ratapan ini Salahuddin segera melepaskan suami atau orangtua mereka dengan rasa perikemanusiaan yang tinggi. Sikap Salahuddin ini menambah harum namanya, baik di mata lawan maupun kawan. Beberapa sejarawan Barat yang pernah menulis ketinggian pribadinya, antara lain Stanley Lane Poole.

Akhirnya Jerusalem kembali ke pangkuan kaum muslimin. Suara azan mulai berkumandang di Al-Masjid al-Aqsa, sementara lonceng gereja masih sepi, turut berduka-cita. Anak buah Salahuddin menurunkan salib Emas dari Al-Qubbah al-Sakhra, tetapi tidak memasang menara azan di Kanisah al-Qiyamah.

Bersambung?!

Sumber: Gerakan Kembali ke Islam; Warisan Terakhir A. Latief Mukhtar, K.H. Abdul Latief Mukhtar, M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar