Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya." Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci. (QS.As-Shaf:8-9)
Selasa, 03 November 2009
Sisi-Sisi Kekafiran Demokrasi
Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat.
Amma ba’ad :
Ikhwani fillah, materi kali ini adalah tentang sisi-sisi kekafiran sistem demokrasi. Dalam bahasan ini akan dijelaskan tentang sisi-sisi yang merpakan kekafiran yang ada pada sistem demokrasi
I. Sisi-Sisi Kekafiran Sistem Demokrasi
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits shahih :
“Hari kiamat tidak akan tiba sampai sebagian besar dari ummatku ini kembali menyembah berhala dan sampai sebagian besar dari ummatku ini berbagabung dengan kaum musyrikin”
Dalam hadits ini Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dua macam kemusyrikan, yang pertama Syirik Ibadatil Ausan (syirik penyembahan berhala), beliau bersabda dalam hadits shahih
“Ya Allah jangan Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah”.
Di sini kuburan Rasul bila di “mintai” atau orang “memohon” kepada kuburan Rasul, maka itu berarti telah menjadikan kuburan beliau sebagai berhala. Begitu juga kuburan-kuburan yang lainnya. Ini adalah maksud dari hadits : “Sampai sebagian besar dari ummatku ini kembali menyembah berhala” adalah mereka jatuh ke dalam syirik-syirik kuburan (Syrkul Qubur).
Adapun yang kedua adalah “sampai sebagian besar dari ummatku ini bergabung dengan kaum musyrikin”, ini adalah Syirik Luhuq Bil Musyrikin (syirik karena sebab kebergabungan dengan kaum musyrikin), dan ini realitanya adalah dengan bentuk Syirik Dustur (syirik aturan).
Semua orang mengetahui bahwa ada yang namanya Sistem Demokrasi. Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan/kedaulatan) yang berarti kekuasaan berada di tangan rakyat atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Sistem ini kemudian diadopsi oleh orang-orang yang mengaku Islam dan dibawa ke negeri kaum muslimin dan dipaksakan untuk diterapkan di tengah mereka. Hal-hal yang muncul dari sistem demokrasi ini adalah masuk ke dalam syirik kebergabungan dengan kaum musyrikin seperti apa yang dijelaskan oleh hadits di atas dan nanti akan ada penjelasannya.
Demokrasi adalah sistem syirik, kemusyrikan dari banyak sisi, diantaranya :
1. Menetapkan kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah
Sistem demokrasi ini adalah system yang dibuat untuk melepaskan diri dari hukum Allah. Mereka merampas salah satu sifat/hak Allah sebagai Pembuat dan Pemutus hukum dan memberikan hak pembuatan hukum ini kepada makhluk. Bukan hanya meyekutukan Allah dalam hukum-Nya, akan tetapi mereka merampas hak kewenangan pembuatan hukum dari Tangan Allah dan melimpahkannya kepada setiap individu manusia.
Akan tetapi dikarenakan manusia atau rakyat ini jumlahnya sangat banyak dan tidak mungkin untuk berkumpul dalam satu tempat, maka mereka membuat sistem perwakilan untuk mewakilkan hak-hak atau sifat pembuatan hukum tadi kepada wakil-wakilnya di Parlemen (MPR/DPR) untuk menjalankan hak atau sifat kewenangan pembuatan hukum.
Sedangakan di dalam ajaran Allah, hak pembuatan hukum itu hanya di Tangan Allah, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kecuali kepada Dia. Itulah dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Yusuf : 40)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa penyandaran hukum kepada Allah adalah ibadah, dan Allah memerintahkan kepada manusia agar tidak menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kecuali kepada Allah, dan ini disebut beribadah kepada Allah, dan ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu disebut beribadah kepada selain Allah atau sebagai bentuk kemusyrikan terhadap Allah.
Hukum ini sendiri dalam ayat itu Allah sebut sebagai DIEN (itulah dien yang lurus). Jadi hukum ini adalah dien, ketika orang mencari hukum selain hukum Allah maka dia telah mencari dien selain dien Islam, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan :
“Barangsiapa mencari dien selain Islam tidak mungkin diterima dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imran : 85)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah : 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
Mereka telah musyrik
Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka?. Maka Rasul mengatakan : “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab : “Ya”, Rasul berkata lagi : Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).
Ketika hak kewenangan pembuatan hukum disandarkan kepada selain Allah seperti kepada alim ulama dan para pendeta, maka itu disebut sebagai bentuk penuhanan atau peribadatan kepada mereka, dan orang yang menyandarkannya atau orang yang mengikuti dan merujuk kepada hukum buatan disebut orang musyrik yang beribadah kepada hukum tersebut dan juga telah mempertuhankan si pembuat hukum tersebut yang mana si pembuat hukum itu disebut arbab (tuhan-tuhan pengatur).
Dalam sistem demokrasi, sumber hukum bukanlah dari Allah (Al Qur’an dan As Sunnah) melainkan Undang Undang Dasar yang dibuat oleh makhluk, ini adalah sebuah bentuk kemusyrikan karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan :
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam hukum-Nya”. (Al Kahfi : 26)
Allah tidak menyertakan seorangpun dalam hukumnya, baik itu dalam hukum syar’iy ataupun hukum kauniy, dan dalam qira’ah Ibnu Amir ayat ini dibaca “janganlah kamu menyekutukan seorangpun dalam hukumnya”, sedangkan dalam sistem demokrasi; bukan hanya sekedar menyekutukan Allah, akan tetapi merampas hak pembuatan hukum ini untuk kemudian diberikan kepada selain Allah, yaitu kepada individu-individu rakyat, dan melalui PEMILU hak ini diwakilkan kepada calon-calon legislatif yang nantinya mereka akan duduk di kursi Parlemen. Hakikat pemilu itu adalah orang mengangkat tuhan-tuhan yang akan membuat hukum
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga telah mencap para pembuat hukum itu sebagai sekutu-sekutu dalam firman-Nya :
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dalam dien (ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah ?”. (Asy Syura : 21)
Para pembuat hukum selain Allah di vonis sebagai Arbab (dalam At Taubah : 31), dikatakan sebagai syuraka atau sekutu-sekutu (dalan Asy Syura : 21), dan dalam ayat yang lain Allah sebut mereka sebagai wali-wali syaitan :
“Dan janganlah kalian memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya itu adalah perbuatan kefasikan. Sesungguhnya syaitan membisikkan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) agar mereka membantah kalian; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am : 121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu : Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Hai Muhammad, ada kambing mati pagi hari, siapa yang membunuhnya ?”, Rasulullah mengatakan : “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan : “Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangakan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya Yang Mulia dengan pisau dari emas kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, Allah katakan bahwa ucapan itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika seandainya menyetujui dan mentaati mereka meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja dengan firman-Nya “Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencap bahwa orang yang membuat hukum selain Allah disebut sebagai wali syaitan, dan produk hukum yang buat itu pada hakikatnya adalah hukum syaitan.
Karena dalam sistem demokrasi yang membuat hukum itu adalah selain Allah yaitu rakyat melaui wakil-wakilnya, jika di Indonedia adalah sebagaimana yang telah dijabarkan dalam Undang Undang Dasar RI tahun 1945, yaitu bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat berdasarkan Undang Undang Dasar, dan bisa didapatkan juga bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga yang berhak membuat dan mengamandemen Undang Undang Dasar, atau nanti juga bisa didapatkan pasal bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan Undang Undang Dasar, dan ini semua bisa dilihat dalam kitab Undang Undang Dasar mereka.
Hukum yang muncul dalam sistem demokrasi adalah hukum syaitan walaupun “wajahnya” seperti syari’at Islam, seandainya hukum potong tangan muncul dalam sistem demokrasi (dari DPR/MPR atau Pemerintah tahghut) maka itu bukanlah hukum atau syari’at Allah, akan tetapi syari’at Thagut atau syari’at demokrasi. Karena hukum tersebut tidak muncul dari Allah, melainkan muncul dari sistem demokrasi yang dibuat oleh para arbab yang mengklaim bahwa dirinya yang berhak membuat hukum dan perundang-undangan.
Jengis Khan membuat suatu kitab hukum yang bernama Yasiq (Ilyasa), kitab ini adalah hasil rangkuman dari hukum Islam, Yahudi, Nashrani, dari pendapat ahlu bid’ah dan sebagian dari buah karya fikirannya sendiri dan diberlakukan pada anak cucunya (ini sama seperti KUHP di Indonesia). Dalam kitab hukum Yasiq ini terdapat beberapa hukum yang sama dengan hukum Islam tapi itu tidak disebut sebagai hukum Islam, melainkan hukum Yasiq (Ilyasa). Ulama mengatakan bahwa yang menerapkannya adalah orang kafir.
Maka orang zaman sekarang yang tertipu atau mereka yang tidak mengikuti jalan yang syar’iy, mereka mengatakan ingin “menggolkan” syari’at Islam lewat Perda-Perda, tetapi bagaimana bisa ??! itu bisa saja terjadi akan tetapi namanya bukanlah syari’at Islam, tapi namanya syari’at demokrasi. Karena itu munculnya bukan dari Allah akan tetapi itu muncul dari para arbab mutafarriqun (tuhan-tuhan pengatur yang beraneka ragam) yang diberikan kewenangan hukum berdasarkan UUD tahun 1945.
Kebenaran itu adalah suara yang terbanyak.
Dalam sistem demokrasi, mereka menyandarkan kebenaran itu kepada suara rakyat atau mayoritasnya. Sebagaimana di awalnya demokrasi adalah hukum rakyat, maka yang diinginkan oleh mayoritas rakyat itu adalah kebenaran yang wajib ditaati dan dituruti.
Sedangkan dalam ajaran Islam, kebenaran itu adalah apa yang muncul dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
“Kebenaran itu berasal dari Tuhanmu, maka jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Al Baqarah : 147)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga mengatakan :
“Kebenaran itu adalah yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu tergolong orang-orang yang ragu”. (Ali Imran : 60)
Jika dalam demokrasi kebenaran itu berasal dari hawa nafsu mayoritas manusia, sedangkan dalam Islam maka yang harus diikuti adalah apa yang Allah turunkan, atau kebenaran adalah apa yang Allah turunkan meskipun itu bertentangan keinginan atau hawa nafsu mayoritas manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian“ (Al A’raf : 3)
Akan tetapi dalam demokrasi dikatakan “ikutilah apa yang diinginkan oleh suara terbanyak” karena itu adalah kebenaran. Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala banyak sekali memvonis bahwa mayoritas itu adalah berada di atas kesesatan, di antaranya :
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS Al An’am 6 : 116)
Kebebasan untuk meyakini dan bebas untuk mengeluarkan pendapat.
Dalam demokrasi, manusia dibebaskan untuk meyakini atau menganut ajaran atau agama apa saja. Orang dibebaskan untuk keluar (murtad) dari Islam, orang boleh mencemoohkan ajaran Islam, karena demokrasi memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih apa yang akan dianutnya, dan karena rakyat memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat dengan bebas, baik itu pendapat kekafiran atau kemurtaddan ataupun pendapat yang lainnya.
Dalam sistem demokrasi orang bebas untuk murtad, memeluk Islam atau memeluk agama yang lainnya, baik itu Nashrani, Hindu atau Budha, membuat tumbal, sesajian, atau meminta-minta ke kuburan, semua itu tidak akan dilarang.
Dalam sistem demokrasi orang bebas meyakini, manganut, memeluk, mengeluarkan pendapat, dan pemikirannya walaupun itu bertolak belakang dengan ajaran Allah.
Sedangkan dalam Islam orang tidak bebas untuk memeluk keyakinan atau menganut ajaran tertentu, orang tidak akan bebas untuk keluar masuk agama Islam karena Rasulullah mengatakan:
“barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”,
orang tidak boleh mencemoohkan ajaran Islam, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui oleh makhluk.
Menyamaratakan orang muslim dengan orang kafir
Di dalam demokrasi, orang muslim dengan orang kafir adalah sama dalam hak dan kewajibannya. Antara ulama dengan orang zindiq adalah sama di dalam sistem demokrasi ini. Orang murtad atau orang kafir dengan orang muslim yang taat adalah sama dalam sistem ini, juga antara laki-laki dengan perempuan adalah sama.
Ini bisa dilihat dalam Pemilu demokrasi yang mana semuanya adalah sama hak dan kewajibannya, sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam banyak ayat Al Qur’an mengingkari penyamaan antara orang-orang kafir dengan orang-orang Islam :
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu”. (Al Jaatsiyah : 21)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingkari kepada orang yang menyamakan antara orang yang kafir dengan orang yang mukmin. Karena ada perbedaan antara keduanya, baik itu di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam materi Konsekuensi-Konsekuensi Terhadap Orang Murtad.
Orang kafir juga ada perbedaannya, apakah itu kafir asli atau apakah kafir dzimiy, karena itu sangat berbeda sekali. Sedangkan dalam ajaran demokrasi semua perbedaan-perbedaan ini ditiadakan dan menganggap semuanya sama. Dalam ajaran demokrasi setiap warga negara adalah sama kedudukannya di hadapan hukum dari sisi hak dan kewajiban.
Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Apakah Kami akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih seperti orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi ? ataukah Kami akan menjadikan orang-orang yang bertaqwa seperti orang-orang yang fajir ? (QS Shad)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingkari penyamaan antara orang muslim dengan orang kafir, bahkan dalam surat yang lain Allah mengatakan tentang orang yang menyamakan antara orang muslin dengan orang yang kafir :
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang mujrim (orang kafir)? kenapa kamu (berbuat demikian) : Bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu) ?” (Al Qalam : 35-39)
Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? adalah pertanyaan alasan kenapa kamu (wahai penganut demokrasi) menyamakan antara orang muslim dengan orang kafir ? Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya? Apakah kalian memilliki kitab yang di dalamnya tertera bahwa orang kafir itu sama dengan orang muslim di hadapan hukum dalam hak dan kewajibannya ? Maka para penganut demokrasi akan menjawab : Ya, kami punya kitab yang di dalamnya kami mendapatkan persamaan hak antara orang muslim dengan orang kafir, yaitu di antaranya kitab UUD 1945 yang mengatakan bahwa setiap warga negara berkesamaan kedudukannya di hadapan hukum.
5. Memutuskan dengan selain hukum Allah
Hukum yang berjalan dalan sistem demokrasi bukanlah hukum Allah, apapun bentuk macam dan ragamnya, meskipun itu serupa dengan potong tangan sepeti yang ada dalam hukum Allah, akan tetapi bila itu ada dalam bingkai demokrasi maka itu bukanlah hukum Allah meskipun itu dinamakan Perda Syari’at atau apapun namanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan :
“Putuskanlah diantara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan, dan jangan kamu mengikuti keinginan mereka dan hati-hatilah terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang yang telah Allah turunkan kepadamu” (Al Maidah : 49)
Akan tetapi sistem demokrasi mengatakan “dan putuskanlah diantara mereka dengan apa yang digulirkan oleh para pembuat hukum”, Allah berfirman : “Jangan ikuti keinginan mayoritas mereka (manusia)”, akan tetapi sistem demokrasi mengatakan “ikutilah keinginan mayoritas manusia”. Allah berfirman : “Hati-hatilah terhadap mayoritas manusia, jangan sampai mereka menyesatkan kamu dari apa yang telah Allah turunkan”, tapi sistem demokrasi mengatakan “Hati-hatilah kamu jangan sampai menyelisihi keinginan mayoritas manusia”. Semuanya bertolak belakang, oleh karena itu apapun bentuk hukum yang muncul dari sistem demokrasi adalah syari’at kafir, maka kesalahan besarlah bagi orang-orang yang mendukung apa yang dinamakan “Perda Syari’at”, karena sebenarnya dia tertipu.
6. Tuhan-tuhan dalam sistem demokrasi adalah sangat banyak
Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengatakan kepada dua orang kawannya di dalam penjara :
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan pengatur yang beraneka ragam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf : 39)
Di dalam demokrasi terdapat banyak arbab, arbab adalah tuhan-tuhan pengatur. Tuhan pengatur dari berbagai partai, baik itu dari PKS, GOLKAR, PDIP, PPP, PKB atau yang lainnya. Sedangkan dalam ajaran Allah hanya ada satu Rab, yaitu Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Perbedaan ini sangat jauh, hukum Islam adalah dari Allah Sang Pencipta yang mengetahui apa yang akan terjadi dan mengetahui apa yang paling dibutuhkan manusia, sedangkan arbab mutafarriqun dari berbagai partai itu adalah manusia biasa, makan dan minum seperti kita, mereka juga membutuhkan apa yang dibutuhkan oleh manusia. Ini adalah perbedaan antara tuhan-tuhan para penganut demokrasi dengan Tuhan orang-orang penganut Islam…
Syaikh Muhammad Asy Syinqithiy rahimahullah mengatakan : “Setiap orang yang mengikuti aturan/hukum/undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syari’atkan lewat lisan Rasul-Nya, maka dia musyrik kafir lagi menjadikan yang diikuti sebagai rab (tuhan)”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar